Kamis, 25 Februari 2010

Lobi-Lobi Politik

Oleh: Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti
Profesor Riset Bidag Intermestic Affairs LIPI

SAMPAI artikel ini ditulis, Senin (22/2),masyarakat belum mendapatkan kesimpulan hasil kerja tim kecil berjumlah 15 orang dari Pansus Hak Angket Bank Century.

Rakyat harapharap cemas apakah Tim 15 ini akan membuat resume sesuai dengan pemandangan awal tiap fraksi dan memberikan rekomendasi dengan menyebut nama siapa-siapa yang dianggap bersalah dan patut dihukum ataukah akan biasa-biasa saja? Mantan Ketua MPR Amien Rais mengisyaratkan, jika Pansus ini sama dengan pansus-pansus sebelumnya yang awalnya garang,gagah berani, lalu masuk angin dan akhirnya melempem, rakyat tidak akan memercayai lagi DPR dan pemerintah.Empat tahun mendatang pemerintahan SBY-Boediono akan tetap berjalan tanpa legitimasi dari masyarakat.

Dari pandangan awal tiap fraksi ke pandangan akhir minggu lalu, memang terjadi perubahan sikap yang amat drastis dari tiap fraksi yang menjadi anggota Pansus Hak Angket Bank Century. Awalnya, ada tujuh fraksi (Partai Golkar, PDIP, PKS, PPP, PAN,Partai Hanura,dan Partai Gerindra) yang menyatakan terdapat kejanggalan dan kemungkinan perbuatan melanggar hukum dalam kasus dana talangan Bank Century, sedangkan dua fraksi lain, Partai Demokrat dan PKB, menyatakan bailout Bank Century wajar demi menyelamatkan Bank Century dan ekonomi Indonesia. Pada pandangan akhir, semua fraksi menyatakan ada kesalahan manajemen dalam aliran dana Bank Century.

Hanya tiga fraksi, PDIP, PPP, dan Partai Gerindra, yang masih agak galak menyatakan terdapat pelanggaran hukum atau kolusi dalam skandal Bank Century itu. PDIP secara khusus menyebut ada kolusi antara Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS),dan Bank Century. Kita masih menunggu laporan tim kecil yang dibawa ke rapat pleno Pansus pada Senin (22/2) dan bagaimana tiap fraksi menanggapi hasil kerja tim kecil tersebut. Kita juga belum tahu apa pandangan DPR RI pada sidang paripurna DPR pada 2 Maret 2010 ini,apakah akan ada rekomendasi politik yang benar-benar bagus ataukah semua itu dikembalikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyidiknya lebih lanjut.

Lobi-Lobi Politik

Untuk memengaruhi hasil kerja tim kecil,lobi-lobi politik pun secara gencar dilakukan pemerintah dan Partai Demokrat. Tak tanggungtanggung, dua menteri pun diturunkan, yaitu Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Hatta Rajasa dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Syari-fuddin Hasan, yang masing-masing menggunakan rumah dinas menteri di Kompleks Menteri Widya Chandra,untuk melobi partai-partai koalisi agar seirama menyatakan bahwa bailout atas Bank Century adalah demi menyelamatkan ekonomi nasional.

Selain itu, Staf Khusus Presiden Bidang Sosial dan Penanganan Bencana Andi Arif juga mengadakan pertemuan dengan Sekjen PDIP Pramono Anung serta Puan Maharani yang konon menawarkan enam kursi bagi PDIP di kabinet. Baik Partai Golkar, PDIP, dan PKS sudah menyatakan akan tetap pada kesimpulan mereka atas dasar temuan fakta di lapangan. Ini berarti ketiga partai tersebut tetap bergeming walaupun dilobi oleh pemerintah dan Partai Demokrat. Lobi-lobi politik yang amat intens tersebut memang normal dalam politik, apalagi di antara sesama anggota koalisi. Tawarantawaran politik juga sesuatu yang normal karena dalam lobi politik itu tentu ada yang ditawarkan dan ada diambil atau diberikan.

Namun jika lobi-lobi politik itu menyebabkan terjadinya perubahan pendirian dari tiap fraksi atas kasus skandal Bank Century,ini akan menimbulkan kecurigaan di masyarakat betapa tidak bermoralnya pimpinan partai, pimpinan Pansus,dan para anggota Pansus. Kita juga patut bertanya, jika memang Presiden SBY ingin agar kasus Bank Century dibuka selebarlebarnya, mengapa pula ancammengancam dan lobi melobi dilakukan pemerintah dan Partai Demokrat. Jika lobi itu sekadar menemukan kata sepakat mengenai frase atau kalimat yang tepat untuk kesimpulan akhir,hal itu suatu yang wajar.Namun bila itu ditujukan untuk mengubah posisi fraksi yang berarti bertentangan dengan hasil temuan awal mereka, ini tentu bertentangan dengan moral politik dan hati nurani para anggotanya.

Hanya demi menerima tawaran politik, yang belum tentu dipenuhi pascapansus, fraksi-fraksi di Pansus itu mengubah pendirian dan kesimpulan awal mereka.Politik uang atau iming-iming jabatan bukan mustahil menjadi bagian dari lobi-lobi politik tersebut. Namun begitu rendahkah harga dari seorang politikus di Indonesia, yang hanya karena jabatan dan uang mereka rela mengubah posisi yang bertentangan dengan hati nurani mereka? Kita patut menduga, kemungkinan besar memang ada yang tidak beres dalam soal merger dan bailout Bank Century ini.

Jika itu akibat krisis ekonomi dunia, mengapa hanya Bank Century yang kolaps? Jika kesembilan fraksi di dalam Pansus menyalahkan manajemen Bank Century soal aliran dana yang konon ada yang fiktif tersebut, mengapa pengawasan terhadap Bank Century tidak diperketat setelah bank itu mendapatkan dana talangan? Bagaimana pula kita dapat menyalahkan pemilik atau manajemen Bank Century tanpa menyalahkan otoritas keuangan, yaitu Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, yang telah memungkinkan masuknya dan keluarnya dana dari Bank Century ke berbagai pihak?

Bagaimana pula Presiden dapat lepas tangan jika beliau mendapatkan laporan mengenai bailout Bank Century dari Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan? Mengutip pendapat Kwik Kian Gie di sebuah stasiun televisi swasta saat mengupas pandangan akhir tiap fraksi, Pansus bukanlah alat kejaksaan, kepolisian, atau KPK untuk memberi informasi mengenai pelanggaran hukum atas kasus Bank Century.DPR melalui sidang paripurnanya pada 2 Maret ini harus mengeluarkan suatu rekomendasi politik, contohnya dalam bentuk mosi tidak percaya kepada pemerintah.

Mosi tidak percaya tidak harus berujung pada pemakzulan atau impeachment, tapi paling tidak ini dapat mengindikasikan bahwa pemerintah telah berbohong kepada rakyat soal bailout Bank Century itu. Jika tidak bohong atau semua sesuai kebijakan yang dibuat, sekali lagi saya bertanya, mengapa pula ancam-mengancam atau lobi-melobi begitu keras dilakukan demi menyelamatkan posisi pemerintah dan Partai Demokrat?

Biarlah rakyat yang menilai apakah kita masih percaya kepada sebuah pemerintahan yang berbohong kepada rakyat.Jika lobi-lobi politik ini berhasil mengubah sikap dan pandangan semua fraksi di dalam Pansus, ini awal dari ketidakpercayaan rakyat kepada DPR dan pemerintah.Apa jadinya sebuah pemerintahan tanpa legitimasi rakyat? (*)

Senin, 22 Februari 2010

Bila Koalisi Pecah Kongsi

Oleh: Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Politik memang tidak mengenal kawan atau lawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan politik individu atau kelompok.

Sekokoh apa pun koalisi yang dibangun, diperkuat dengan penandatanganan kontrak politik antarelite politik, bila hanya didasari kepentingan strategis mereka yang berkoalisi tanpa didukung oleh ideologi dan program kabinet yang solid, akan hancur saat kepentingan politik yang mereka perjuangkan mulai tampak berbeda.

Fenomena politik ini amat kasatmata terjadi pada koalisi partai-partai politik pendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Hanya karena perbedaan kepentingan politik terkait dengan posisi masing-masing partai anggota koalisi pada Panitia Khusus (Pansus) DPR tentang Hak Angket Bank Century, koalisi partai yang dibangun Yudhoyono bersama Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kini mulai retak dan menjurus pada pecah kongsi.

Secara garis besar, koalisi partai pendukung pemerintah itu kini terbagi ke dalam dua kubu besar. Kubu pertama yang setia mendukung pemerintah, yaitu PD dan PKB, dalam pemandangan awal fraksi di dalam Pansus itu berpendirian bahwa pemberian dana talangan (bail out) terhadap Bank Century dilakukan demi mencegah krisis perbankan dan ekonomi nasional sudah sesuai dengan aturan perundang-undangan dan tidak ditemukan unsur melawan hukum.

Sebaliknya, kubu kedua yang kritis terhadap pemerintah dan ingin ”mengingatkan sahabat dan kawan sekoalisi”, yaitu Golkar, PKS, PAN, dan PPP, menduga kuat ada penyimpangan dan perbuatan melanggar hukum dalam proses bail out.

Pansus sendiri kini sudah beranjak dari soal merger dan bail out Bank Century ke soal ke mana saja dana bank tersebut mengalir. Fenomena yang menarik ialah adanya dana yang mengalir ke rekening-rekening fiktif atau asli tetapi palsu di mana uang tersebut ternyata bukan milik dari nama-nama pemilik rekening. Selain itu, mengapa pula mereka yang sah memiliki rekening tabungan biasa atau deposito perbankan di Bank Century justru belum mendapatkan pengembalian dana dari bank tersebut.

Di sini para anggota Pansus harus jeli, apakah ini soal pelanggaran perbankan biasa atau ada unsur politik terkait aliran dana untuk kampanye partai politik atau pasangan calon presiden/wakil presiden tertentu pada pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden pada 2009.

Jika ternyata dugaan pelanggaran itu terbukti, kita masih menunggu bagaimana pendapat akhir DPR yang merupakan rangkuman dari pandangan masing-masing anggota Pansus. Pada pemandangan awalnya, posisinya ialah dua partai (PD dan PKB) menilai tidak ada pelanggaran, sedangkan tujuh partai (Golkar, PKS, PAN, PPP ditambah tiga partai non-koalisi, yaitu PDI-P, Partai Hanura, dan Partai Gerindra) menilai ada pelanggaran dan dugaan perbuatan melanggar hukum. Kita lihat saja pandangan akhir masing-masing fraksi pada 17 Februari 2010.

Posisi fraksi dapat saja berubah pada 4 Maret 2010 saat masa kerja Pansus berakhir dan hasilnya dilaporkan pada sidang paripurna DPR. Bisa saja posisi menjadi 1:8 jika PKB membelot ke mayoritas, 3:6 jika PAN bergabung dengan PD dan PKB, 4:5 jika PAN dan PPP bergeser mendukung PD dan PKB, atau lebih tragis lagi 0:9 jika semua fraksi di dalam Pansus menilai ada pelanggaran dalam soal merger, bail out dan penyaluran dana Bank Century. Kemungkinan yang terakhir tersebut mungkin walau sulit untuk terjadi.

Selain itu, Ketua Pansus Bank Century Idrus Marham menuturkan, jika ditemukan dugaan tindak pidana korupsi, Pansus akan merekomendasikan membawa kasus skandal Bank Century ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika ternyata antara proses politik melalui Pansus dan proses hukum melalui KPK memiliki kesimpulan yang sama, yaitu terdapat dugaan pelanggaran hukum, ini berarti sudah memenuhi syarat ”pelanggaran hukum” dan atau ”perbuatan tercela” yang pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 7A dan 7B dapat diproses menuju pemakzulan, baik terhadap wakil presiden atau presiden dan wakil presiden.

”Win-win” atau ”win-lose”
Untuk menyelesaikan problem internal koalisi, baik Presiden Yudhoyono maupun PD lebih menonjolkan pendekatan power dan ancaman terhadap kawan dan lawan politiknya ketimbang pendekatan merangkul atau lebih akomodatif. Ancaman soal penegakan hukum terhadap mereka yang mengemplang pajak, menerima suap saat proses tes kepatutan dan kelayakan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom, menerima gratifikasi saat anggota DPR melakukan kunjungan ke luar negeri, atau korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi yang dilakukan Departemen Sosial merupakan penekanan agar politisi Golkar, PDI-P, dan PPP lebih luwes di dalam Pansus.

Menjawab ancaman itu, baik politisi dari Golkar maupun PPP yang merupakan anggota koalisi tidak takut, mereka malah balik mengancam Yudhoyono dan PD dengan mengatakan akan atau siap keluar dari koalisi. Di sini berlaku peribahasa, jika terjepit, semut yang terinjak pun akan menggigit.

Penyelesaian konflik di dalam internal koalisi seharusnya dilakukan Yudhoyono melalui cara berdialog langsung dengan para elite partai pendukung koalisi. Melalui proses ini akan terjadi kesepahaman dan penyelesaian politik yang saling menguntungkan, apakah bentuknya symmetric win-win solution ataupun asymmetric win-win solution. Pendekatan zero sum game menuju pada win-lose atau lose-lose solutions tentunya tidak menguntungkan koalisi.

Bagi rakyat keseluruhan, jika koalisi ini pecah kongsi, ini akan menimbulkan iklim yang baik di dalam sistem politik Indonesia, di mana akan ada kesejajaran kekuatan antara eksekutif dan legislatif sehingga proses checks and balances dapat berjalan normal. Namun, bagi Presiden Yudhoyono, ia akan sulit mengelola pemerintahan di dalam situasi anggota DPR dari partainya yang belum memiliki kecanggihan di dalam berpolitik.

Hitler Meninggal di Indonesia?

http://nasional.vivanews.com/news/read/131304-hitler_meninggal_di_indonesia_

Rabu, 17 Februari 2010

Benang Kusut Bisnis dan Politik

Oleh: Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

BISNIS dan politik adalah dua kegiatan yang saling berkaitan. Bisnis dapat menunjang politik, demikian juga sebaliknya. Aktivitas bisnis dapat dimudahkan karena adanya kegiatan politik pada tingkatan negara.

Sebaiknya, politik dapat dipermudah karena adanya kegiatan bisnis.Tanpa adanya kegiatan bisnis, domestik dan internasional, politik kenegaraan tidak akan mungkin dapat berjalan. Sebaliknya, kegiatan bisnis juga berjalan baik jika kondisi politik domestik dan internasional amat kondusif dan mendukung.

Bayangkan jika tidak ada bisnis di bidang transportasi dan telekomunikasi, bagaimana pemimpin negara dapat mempertahankan keutuhan negara? Adanya bisnis di kedua bidang itu telah mempermudah pemerintah di sebuah negara untuk mempertahankan kedaulatan nasional dalam arti yang luas. Politik dan bisnis dalam arti yang lebih sempit juga saling mendukung.

Para pebisnis besar, menengah, dan kecil akan berlombalomba untuk mendukung aktor dan atau partai politik yang kira-kira akan menang di dalam pemilu legislatif, pemilu presiden/wakil presiden langsung, pilkada gubernur, bupati,wali kota, dan sebagainya. “Bantuan dana kampanye”dari para pengusaha/pebisnis itu tentu tidak gratis karena dalam aktivitas politik semacam itu memang berlaku slogan “tidak ada makan siang yang gratis”(no free lunch).

Dari sisi teori politik, pendanaan semacam itu dapat dikategorikan sebagai bribes and kickback (sogokan dana agar bisnis mereka dipermudah).Timbal balik ekonomi yang didapat pelaku bisnis dari para politikus/pejabat negara dapat berupa konsesi bisnis melalui tender-tender pemerintah, keringanan pajak, kebijakan negara/ pemerintah daerah dan peraturan yang memudahkan bisnis mereka, tetapi tidak terbatas pada kemudahan untuk memperoleh dana dari institusi perbankan.

Kaitan antara bisnis dan politik dalam kategori yang sempit itu bagaikan gurita yang sulit dilepaskan oleh para politikus, khususnya mereka yang membutuhkan bantuan dana kampanye. Aktivitas tersebut bahkan sudah merambah soal proses politik di parlemen yang terkait dengan fit and proper test untuk jabatan-jabatan yang basah atau penuh uang. Tengok misalnya isu skandal suap soal dukung-mendukung mengenai siapa yang akan menjadi Gubernur, Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI).

Kita belum tahu, apakah isu benar adanya atau tidak, tetapi dalam kasus Miranda Swaray Goeltom,isu tersebut sempat merebak. Dalam bahasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kongkalikong atau kolusi antara pejabat publik dan pelaku bisnis ini akan dihabisi karena hanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan perusakan pada sistem pemerintahan yang bersih.

Secara lebih tegas, Presiden SBY mengaitkan soal bagaimana pelaku bisnis berupaya menyogok para pejabat publik agar pajak perusahaan tidak sebesar yang seharusnya dibayar oleh para pelaku bisnis. Jika benar Presiden ingin membasmi korupsi dan kolusi di bidang perpajakan, ini suatu hal yang amat positif.

Namun, kalau ini dikaitkan dengan soal perseteruannya dengan “mantan pembantunya” (mantan Menko Kesra Aburizal “Ical” Bakrie) yang kini menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Pertanyaannya, mengapa soal utang pajak perusahaan-perusahaan milik keluarga besar Bakrie yang konon nilainya mencapai Rp. 2,1 triliun ditambah denda yang katanya mencapai Rp6 triliun itu tidak diselesaikan saat Aburizal Bakrie masih menjabat sebagai menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu I (2004–2009)?

Mengapa soal kemplang-mengemplang pajak itu yang adalah soal teknis perpajakan tidak dilontarkan oleh Direktur Jenderal Pajak saja dan harus dilontarkan oleh Presiden? Mengapa pula hal itu tidak diajukan ke pengadilan atau diselesaikan melalui perundingan antara Direktorat Jenderal Pajak dan wajib pajak yang mekanisme resminya sudah ada? Pertanyaan lain yang patut dikemukakan ialah, apakah Partai Demokrat dan pasangan SBYBoediono pada masa kampanye Pemilu 2004 dan 2009 bersih dari “bantuan dana kampanye” para pelaku bisnis?

Pertanyaan ini patut dikemukakan lantaran asumsi yang saya ajukan ialah tidak ada pasangan calon presiden/wakil presiden atau partai-partai politik yang 100% bersih atau tidak menerima dana bantuan kampanye dalam bentuk apa pun dari para pelaku bisnis. Para pasangan dalam berbagai pilkada juga kemungkinan besar mendapatkan dana bantuan kampanye dari para pelaku bisnis di pusat ataupun daerah.

Besar kecilnya tergantung pada kedekatan pribadi, kedekatan politik atau probabilitas kemenangan yang akan diraih partai atau para kandidat presiden/ wakil presiden serta kepala daerah pada pemilihan umum legislatif pusat/ daerah atau pemilihan presiden/ wakil presiden atau pilkada langsung.

Persoalan dana bantuan politik ini merupakan suatu hal yang wajar asalkan transparan dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Kita sampai kini juga masih bertanya apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan akuntan publik telah melakukan audit atas dana-dana kampanye itu secara benar. Soal bisnis dan politik ini anehnya baru mengemuka dan menjadi headline di berbagai surat kabar Ibu Kota setelah Presiden SBY melontarkan hal itu saat memberikan amanat pada Rapat Pimpinan Polri beberapa hari lalu.

Isu ini juga tidak melulu mengenai bagaimana membangun pemerintahan yang bersih dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, melainkan terkait kuat dengan soal tarik ulur dukungan di Pansus DPR dalam kasus skandal Bank Century. Baik SBY maupun Aburizal Bakrie tentu memiliki kartu truf yang bisa mereka mainkan untuk melemahkan lawannya.

Anehnya soal tekan-menekan politik bukan terjadi antara penguasa dan lawan politiknya, melainkan di antara dua penanda tangan kontrak politik, yaitu antara SBY sebagai penguasa negeri dan Ical sebagai penguasa Partai Golkar. Dua tokoh politik ini juga sama tidak sterilnya dalam soal dana bantuan politik.

Bukan mustahil Aburizal Bakrie pada Pilpres 2004 dan 2009 termasuk pelaku bisnis sekaligus pejabat negara yang perusahaan keluarganya memberi bantuan dana kampanye pada pasangan SBY–JK (2004) dan SBY– Boediono (2009).Tekanan Partai Golkar dalam Pansus Bank Century juga bukan mustahil mengandung unsur politik untuk menekan SBY agar memberi ruang pemakzulan terhadap Wakil Presiden Boediono dan memecat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan bukan murni ingin membangun pemerintahan yang bersih seperti yang dilontarkan Aburizal Bakrie bahwa “orang yang tidak benar harus diganti”.

Dengan kata lain, baik SBY maupun Aburizal Bakrie samasama tidak murni ingin membangun pemerintahan yang bersih di dalam pernyataan-pernyataan politik mereka, melainkan bagaimana mendapatkan dukungan rakyat atas motif politik di balik pernyataan-pernyataan politik yang aduhai indahnya itu. Kita tunggu saja apakah SBY dan Ical dapat berdamai kemudian.

Jika mereka tidak dapat berdamai, bukan saja SBY,Partai Demokrat, dan Partai Golkar saja yang akan merugi,melainkan koalisi pemerintahan secara keseluruhan. Namun,jika dianalisis lebih dalam lagi, yang paling merugi adalah SBY karena akan semakin sulit ia mengelola dukungan dari koalisi politik yang semakin rapuh itu.Walau Partai Demokrat memiliki 148 kursi, terbesar di DPR, sebagian besar anggotanya atau lebih dari 90% bukanlah politisi ulung yang mampu mengarahkan proses politik di parlemen.

Maklum jam terbang mereka masih kurang dari 10 tahun, kalau tidak dapat dikatakan masih sebagai “politisi balita”. Lalu,apa yang dapat dilakukan oleh sebuah pemerintahan yang pemimpinnya tidak jarang bagaikan crying baby dan politisi pendukung utamanya bagaikan “politisi balita”yang masih belajar berpolitik? Jawabannya tentu bukan pada syair lagu ciptaan SBY: “Ku Yakin Sampai di Sana”.(*)

Jumat, 12 Februari 2010

Impeachment dalam Sistem Presidensial

Oleh: Prof. Dr. Maswadi Rauf
Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia

Impeachment menjadi pembicaraan publik dalam beberapa bulan terakhir ini sejalan dengan bergulirnya penyelidikan kasus Bank Century oleh Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century yang dibentuk DPR RI.

Istilah tersebut berarti pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya oleh MPR.Istilah lain yang juga digunakan dalam pengertian ini adalah pemakzulan yang sebenarnya digunakan untuk raja-raja pada masa lalu yang diturunkan dari tahta kekuasaannya. Isu pemakzulan menjadi menghangat akhir-akhir ini karena adanya dugaan pelanggaran hukum dalam kasus dana talangan sebesar Rp6,7 triliun yang diberikan kepada Bank Century yang bermasalah.Pelanggaran itu diduga dilakukan Wakil Presiden Boediono pada waktu dia menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 2008. Kebijakan tersebut dibuat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai Menteri Keuangan.

Gubernur BI adalah salah seorang anggotanya.Badan ini merupakan badan pemerintah sehingga merupakan bagian dari lembaga eksekutif.Oleh karena itu ada yang mengaitkan kebijakan tersebut dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kepala lembaga eksekutif di dalam sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, presiden memang memegang tanggung jawab pemerintahan sepenuhnya.

Pengawasan

Pemakzulan dalam sistem presidensial adalah konsekuensi dari demokrasi.Dalam demokrasi,pengawasan adalah salah satu konsep terpenting yang menjadikan pengawasan sebagai salah satu persyaratan bagi hidupnya demokrasi.Perlunya pengawasan dalam demokrasi melahirkan trias politica, yakni pembagian lembaga-lembaga negara menjadi tiga (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang setara dan seimbang sehingga pengawasan di antara lembaga-lembaga tersebut dapat dilakukan.

Ini disebut sebagai sistem checks and balances(pengawasan dan keseimbangan).Tidak hanya itu,demokrasijugamenuntut dikembangkannya pengawasan oleh rakyat terhadap pemerintah dengan diberikannya kebebasan berbicara dan berserikat/berkumpul sehingga rakyat dapat memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah. Agar pengawasan dapat efektif, harus ada sanksi terhadap siapa saja yang terbukti melanggar hukum. Tuduhan adanya pelanggaran dan penyelewengan tersebut dihasilkan oleh adanya pengawasan yang sistematis dan berkelanjutan yang dilakukan lembaga-lembaga negara tadi atau oleh rakyat.

Bila sanksi tidak ada atau sanksi tidak diberikan karena lemahnya penegakan hukum, pengawasan tidak ada manfaatnya dan pelanggaran hukum serta penyelewengan akan berkembang secara luas. Jadi pengawasan harus dilengkapi dengan sanksi terhadap mereka yang melanggar.Pemakzulan terhadap presiden dan/atau wakil presiden adalah sanksi terberat yang dapat dijatuhkan kepada kedua pejabat politik tersebut. Sebenarnya pemakzulan adalah hal yang wajar karena bila tidak ada sanksi,kesewenang-wenangan dapat berkembang.Tidak adanya sanksi berupa pemakzulan mengandung bahaya karena tidak ada kekhawatiran terhadap sanksi dalam membuat kebijakan sehingga keinginan dan kepentingan pribadi atau kelompok dapat menjadi menonjol yang berarti terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Sistem Presidensial di Indonesia

Sistem presidensial yang digunakan di Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang telah diamendemen memberikan sanksi berupa pemakzulan terhadap presiden dan/atau wakil presiden yang terbukti melanggar hukum.Hal ini diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 7B. Bahkan Mahkamah Konstitusi telah membuat hukum acara pemakzulan akhir tahun lalu untuk memperjelas prosedur yang harus ditempuh dalam melakukan pemakzulan.

Jadi tidak perlu lagi ada perdebatan tentang ada tidaknya pemakzulan di Indonesia karena hal tersebut telah dinyatakan secara tertulis dan gamblang dalam UUD 1945. Yang pernah diperdebatkan adalah ada tidaknya pemakzulan menurut UUD 1945 yang asli.Ada yang berpendapat bahwa UUD 1945 yang asli tersebut tidak mengenal pemakzulan karena tidak ada aturan mengenai hal tersebut dalam konstitusi tersebut.Namun banyak yang berpendapat bahwa pemakzulan dikenal oleh UUD 1945 yang asli karena presiden dipilih oleh MPR sehingga presiden bertanggung jawab kepada MPR. Sebagai lembaga yang memberikan mandat kepada presiden,MPR juga dapat menarik mandat itu kembali dari presiden yang merupakan mandataris MPR.

Oleh karena itu pemakzulan tidak bertentangan dengan UUD 1945 yang asli. Terlepas dari perdebatan di kalangan ahli hukum tersebut, pemakzulan telah dilakukan dua kali di bawah UUD 1945 yang asli.Pertama adalah pemakzulan terhadap Presiden Soekarno oleh MPRS pada 1967. Adapun yang kedua adalah pemakzulan terhadap Presiden KH Abdurrahman Wahid oleh MPR pada 2 0 0 1 . Pemakzulan tersebut dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Bila DPR berpendapat bahwa presiden telah melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau mengambil sikap politik yang berlawanan dengan sikap politik DPR,DPR dapat mengundang MPR untuk melakukan Sidang Istimewa (SI) untuk membicarakan pemakzulan presiden. Bila MPR setuju,presiden harus berhenti.

Mudahnya pemakzulan presiden di bawah UUD 1945 yang asli mengakibatkan timbulnya pendapat bahwa sistem presidensial tersebut tidak murni karena telah bercampur dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, perdana menteri yang merupakan kepala pemerintahan dapat diberhentikan setiap saat (yang juga berarti bubarnya kabinet) bila tidak lagi mendapat dukungan DPR. Hilangnya dukungan DPR berarti DPR memberikan “mosi tidak percaya” kepada perdana menteri dan kabinetnya yang menyebabkan bubarnya pemerintah.Oleh karena itu sistem parlementer cenderung menghasilkan ketidakstabilan politik karena kabinet bisa jatuh setiap waktu yang menyebabkan sulitnya pemerintah melaksanakan program-program pembangunan.

Sistem presidensial yang digunakan di bawah UUD 1945 telah semakin mendekati sistem presidensial murni karena presiden dipilih langsung oleh rakyat dan presiden dapat diberhentikan melalui proses yang sulit. Proses pemberhentian yang sulit tersebut memang dibutuhkan agar presiden tidak diberhentikan setiap saat yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Meskipun begitu, presiden tetap dapat diberhentikan bila terjadi pelanggaran hukum sebagai mekanisme kontrol terhadap presiden.

Pertemuan di Istana Bogor

Presiden SBY pada 21 Januari 2009 mengadakan pertemuan dengan pimpinan tujuh lembaga negara untuk membicarakan perkembangan politik terakhir yang antara lain terkait dengan pemakzulan. Setelah pertemuan tersebut Presiden SBY mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan karena rapat tersebut sepakat bahwa impeachment tidak perlu diberlakukan karena sistem saling mengimbangi dan mengawasi bukan untuk saling menjatuhkan.

Presiden SBY benar bahwa sistem “mosi tidak percaya” tidak dikenal di Indonesia. Beliau benar karena “mosi tidak percaya” hanya berlaku dalam sistem parlementer dan Indonesia tidak menggunakan sistem parlementer. Pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden jelas diatur dalam UUD 1945 hasil amendemen sehingga dapat digunakan bila telah memenuhi persyaratan seperti yang ditetapkan dalam konstitusi tersebut.

Yang seharusnya dipersoalkan dalam isu pemakzulan adalah kemampuan DPR untuk memenuhi persyaratan tersebut, yakni buktibukti terjadinya pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil presiden dan dukungan yang cukup di DPR untuk membuat keputusan tersebut. Persyaratan yang cukup berat bagi DPR untuk mengusulkan pemberhentian kepada MK kelihatannya sulit dipenuhi karena keputusan itu harus didukung oleh 2/3 suara di dalam rapat yang dihadiri oleh minimal 2/3 dari seluruh anggota DPR.

Jadi dilihat dari persyaratan dukungan ini, diperkirakan sangat sulit bagi DPR untuk bisa mengegolkan usulan tersebut.Jadi sikap yang terlalu khawatir terhadap terjadinya pemakzulan menyebabkan keluarnya pernyataan-pernyataan yang salah. (*)