Muhammad Ali pernah berkata “The man who has no imagination, has no wings”,
hal ini menggambarkan bahwa selayaknya kita senantiasa memiliki mimpi dan
abstraksi. Pesan sang petinju legendaris ini mungkin mengilhami Menkominfo,
Johnny G.Plate (22/03/2022) yang mengusulkan pemilu 2024 dengan sistem
e-voting. Namun sejatinya, usulan politisi partai Nasdem itu bukanlah hal yang baru dibicarakan di Indonesia.
Jauh sebelum itu, Pemerintah
Daerah Jembrana telah melakukan e-voting Pilkades pada tahun 2009. Semenjak itu,
ratusan pilkades telah melaksanakan demokrasi berbasis elektronik, bahkan
dibantu langsung oleh BPPT. Bukan sekedar trial
and error, sesungguhnya Permendagri 72 tahun 2020 adalah payung hukum yang
mampu menyesuaikan perkembangan demokrasi dengan kemajuan teknologi. Sehingga
berbagai desa saat ini telah mampu untuk melaksanakan e-voting. Dengan
demikian, bukanlah suatu hal yang mustahil apabila dimasa depan Pileg, Pilpres dan
Pilkada juga bisa dilakukan dengan cara e-voting.
Secara umum e-voting dapat
diartikan sebagai penggunaan hak suara dalam pemilu yang didukung oleh alat
elektronik. Ragam dari alat elektronik mencakup pendaftaran suara elektronik,
penghitungan suara secara elektronik dan belakangan termasuk aplikasi situs
untuk memilih jarak jauh, khususnya internet
voting (Kersting dan Baldersheim: 2004). Mengutip data International
Institute for Democracy dan Electoral Assistance, pemungutan suara secara
elektronik telah digunakan di 34 negara di dunia yang dilakukan dalam berbagai
bentuk dan tingkatan.
Hal yang telah lama disampaikan
oleh pemerhati pemilu ini mungkin perlu direnungkan oleh masyarakat, pasca era
pandemi covid-19 ini. Semua tatanan kehidupan masyarakat bergeser sangat cepat
dan teknologi internet mampu menjadi solusi. Sebut saja belanja, belajar dan
pelayanan publik telah banyak menggunakan fasilitas dalam jaringan (online). Jadi bila saat ini kita
melakukan e-voting, mengapa tidak.
Pastinya yang menjadi
kelebihan dalam penerapan e-voting adalah efisiensi anggaran. Secara filosofis,
penyelenggaraan sebuah pemilu semestinya mengikuti prinsip efisiensi (Allan
Wall:2006). Maka hingga saat ini, efisiensi adalah bagian dari azas
penyelenggaraan pemilu. Ironisnya anggaran pemilu dari tahun ke tahun selalu
mengalami peningkatan. Tahun 2019 yang lalu, KPU menghabiskan anggaran 24 triliyun
rupiah. Sementara untuk pemilu 2024, KPU merencanakan anggaran sekitar 60 triliun
rupiah.
Angka itu justru bertolak
belakang dengan prinsip efisiensi dalam pemilu. Padahal kita mengetahui bahwa
dunia saat ini telah bergeser ke era digital. Prof.Rhenald Kasali menyebutkan
bahwa biaya produksi untuk menghasilkan robot, software dan aplikasi turun
sebesar 65%. Sedangkan, biaya tenaga kerja diseluruh dunia mengalami
peningkatan 2-15% setiap tahunnya. Hal ini praktis membuat biaya pemilu tidak
hanya bengkak dari sisi logistik tapi pelaksana teknis dilapangan, seperti PTPS
dan KPPS, juga menjadi pengeluaran yang sangat besar.
Kita juga digemparkan dengan
begitu banyaknya petugas TPS tersebut, meregang nyawa karena beban kerja yang
tinggi. Begitu banyaknya formulir yang harus disalin dan jenis surat suara yang
dihitung di TPS, terkadang lebih dari 24 jam. Pemilu 2019 saja misalnya, total
ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit (Arief
Budiman:2020). Maka, dari kacamata ini dapat kita lihat bahwa e-voting adalah
jawaban agar pesta demokrasi tidak berubah menjadi bencana demokrasi.
Efisiensi terhadap waktu juga
menjadi pertimbangan. Berdasarkan pengalaman Estonia dalam melaksanakan
e-voting, mampu mempercepat pemilih untuk mengetahui hasil pemilu. Sebab, jika
dipagi hari diproses maka malam hari sudah diketahui hasilnya. Jadi pemilih
tidak perlu lagi menunggu rapat-rapat rekapitulasi yang memakan waktu
berhari-hari. Belajar dengan Estonia adalah solusi yang baik dalam mengaplikasi
e-voting berbasis internet.
Terkait akurasi dan kecepatan
sangat dibutuhkan dalam demokrasi modern di era digital. Dengan semakin
mutakhirnya perkembangan ilmu komputerisasi yang mengenal sistem enskripsi dan
blockchain adalah jawabannya. Kemudian, Selama didukung oleh DPT yang berbasis
Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK). Tinggal lagi bagaimana kita mampu
menyimpan big data penduduk yang
semula berada pada internal storage
ke model cloud storage. Sehingga data
terdesentralisasi dan terintegrasi antara KPU dan Dirjen Dukcapil.
Namun sistem ini masih ada
beberapa kelemahan. Jika petugas pemilu tidak memiliki kemampuan yang memadai
perihal e-voting. Sangat mengkhawatirkan apabila terjadi kegagalan maka akan
mengurangi legitimasi terhadap pemilu. Lalu bagi sejumlah kelompok pemilih,
seperti pemilih berusia lanjut, e-voting lebih tidak disukai. Hasil riset
(Roseman:2005) menunjukan dalam Pilkada di Georgia-Amerika Serikat, yang
menggunakan e-voting tidak disukai oleh pemilih yang berusia tua (diatas 65
tahun). Belum lagi kita harus mempertimbang prinsip aksesibilitas bagi pemilih
dengan kategori disabilitas.
Maka tidak heran, Negara
seperti Belanda dan Jerman yang juga pernah melakukan e-voting memilih kembali
kepada sistem yang manual. Terlebih temuan Bawaslu pada 2019 menyebutkan bahwa
12 ribu TPS belum terakses dengan intenet dan bahkan lebih dari 4 ribu TPS
belum dialiri oleh listrik. Masalah lain yang mengemuka adalah bagaimana
nantinya melakukan pembuktian hukum dalam sengketa perselisihan hasil suara di
Mahkamah Konstitusi. Apabila terjadi error
dalam proses pemilihan, bagaimana teknis auditnya. Sementara situng yang
dimiliki oleh KPU juga memiliki banyak kendala, bahkan rentan untuk diretas.
Pertanyaannya kemudian, apakah
mungkin Pemilu menggunakan e-voting? Dimasa yang akan datang bukan tidak
mungkin dapat diwujudkan. Untuk memanifestasikannya, terdapat beberapa faktor
pendukung. Pertama adalah asas legal formal, mau tidak mau UU Pemilu, ITE dan
Adminduk harus direvisi. Kedua, Infrastruktur jaringan internet dan jaringan
listrik wajib untuk mampu masuk hingga keseluruh pelosok Indonesia.
Namun infrastruktur yang
paling utama adalah masalah DPT dan SIAK. Sebaiknya data e-KTP masyarakat mampu
terdigitalisasi sesuai dengan perkembangan era teknologi 4.0 berbasis cloud computing. Kemudian, dibuat smart contract yang dibuat berbasis blockchain, sehingga data e-KTP
mendapatkan hak paten (copyright),
untuk selanjutnya menjadi jaminan hukum dan perlindungan dari Negara.
Oleh karena itu, sebelum
nantinya prasyarat legal formal direvisi dan pembangunan infrastruktur digital
ini dikebut. Sosialisasi yang gencar mengenai e-voting mutlak harus dilakukan.
Ini adalah pekerjaan besar bagi kita, menuju demokrasi Indonesia yang semakin
modern.