Pemilihan Umum Tahun 2024 sebaiknya
ditunda, sepertinya banyak mendapatkan pertentangan dari masyarakat, terutama
akademisi. Berkaca dari Pemilu 2019 yang dapat dibilang sukses dalam
penyelenggaraan, praktis hal yang sama tidak menjadi hambatan untuk
melaksanakan hal yang sama di tahun 2024. Lalu, bagaimana Pilkada Serentak 2024
yang pertama kali dilaksanakan setiap daerah Indonesia?
Perlu diketahui bahwa saat
ini, penyelenggara pemilu mengajukan Rancangan Anggaran Pilkada kepada
masing-masing Pemerintah Daerah. Sehingga secara matematika anggaran bisa
dipersiapkan dari saat ini. Hal yang luput kita perhitungkan adalah bagaimana
keamanan Negara pasca Pilkada. Hal ini menjadi penting untuk disimak, karena
pada prinsipnya Pilkada adalah barometer konflik politik yang terkonsentrasi di
daerah. Potensi ini akan kita lihat dari perspektif geo-politik.
Konflik yang terjadi di Laut
Cina Selatan (LCS) adalah indikator pertama, dimana ketegangan ini muncul atas
klaim Pemerintah Tiongkok tentang kepemilikan wilayah tersebut. Hampir seluruh
anggota ASEAN yang terlibat langsung dalam ketegangan ini, ditambah dengan
Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Indikator yang kedua adalah AUKUS. Pakta
keamanan yang ditandatangani oleh Amerika Serikat, Inggris dan Australia
menjadi ancaman bagi Tiongkok. Dimana ketiga Negara tersebut memiliki armada
perang laut yang mutakhir yakni Kapal Selam bertenaga Nuklir. Disisi lain, Prancis sangat dirugikan dengan
sikap Australia yang membatalkan pembelian Alutsista dari Negara pemilik menara
Eifel tersebut.
Dua indikator diatas sudah
cukup menggambarkan, bagaimana posisi geografis Indonesia ditengah pusaran
konflik. Ditambah lagi saat ini perang antara Rusia dan Ukraina masih
berlanjut, maka bisa saja konflik ini makin melebar. Sementara itu, politik
luar negeri Indonesia bermain bagaikan anak gadis yang gombal. Pemerintahan
Jokowi, sangat telaten dalam memposisikan diri, tidak ikut serta untuk aktif
dalam mendamaikan keadaan tersebut dan tidak pula lengah dengan segala keadaan.
Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah Alutsista pada Tahun Anggaran
2022 ini.
Segala kepungan pakta keamanan
dan ketegangan yang terjadi di dunia hari ini, wajib disikapi dengan kesiagaan.
Sulit kiranya saat ini Indonesia akan digempur oleh Negara-negara yang ada,
karena kepentingan yang sangat besar di kawasan ini. Terlebih dengan jumlah
populasi yang besar dan sejarah panjang perlawanan gerilya rakyat semesta, maka
akan sia-sialah rasanya untuk menaklukan Indonesia dengan aksi-aksi Militer.
Oleh karena itu, untuk menaklukan Negara ini, sebaiknya dilakukan dengan metode
Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera yang bernama Pilkada Serentak Tahun 2024.
Prinsipnya, Pilkada sama
dengan Pemilu. Dimana kita bisa membelah-belah potensi lumbung suara masyarakat
berdasarkan sentimen sosiologis, namun dengan skala kedaerahan yang ada. Dalam
kacamata marketing politik itu adalah hal yang jumrah; kajian segmentasi,
targeting dan positioning akan menjadi wajar dilakukan oleh Pasangan Calon.
Pembelahan itu dirasa aman bilamana terjadi hanya pada tingkatan elit.
Masalahnya akan lebih tajam bila pembelahan ini justru terjadi di Masyarakat. Karena
konsentrasi Pilkada ada di tiap-tiap daerah, maka potensi konflik juga akan
tersebar. Pada poin inilah TNI/POLRI wajib untuk berperan aktif dalam menjaga
keamanan dan kondusifitas.
Maka, teknis pengamanan dari
TNI/POLRI haruslah didudukkan berbarengan dengan penyelenggara pemilu, yang saat
ini sedang mengajukan Rancangan Anggaran Pilkada kepada masing-masing
Pemerintah Daerah. Karena jumlah personil pengamanan yang terbatas dan tidak
merata jumlahnya di tiap-tiap daerah, tentu akan menyulitkan. Indonesia yang
sangat luas, pastinya akan sulit melakukan distribusi personil TNI/POLRI dalam
pengamanan Pilkada. Jenderal-jenderal yang ada dipusat, wajib melakukan
penyaringan dengan seksama daerah-daerah mana saja yang membutuhkan personil.
Disamping itu, intelejen harus dengan seksama melakukan preventif, setiap
gerakan-gerakan yang berpotensi menimbulkan konflik.
Bila dalam Pilpres kita bisa
melihat bagaimana tekanan muncul di pusat. DKI Jakarta menjadi barometer dan
seluruh kekuatan keamanan di daerah dikerahkan untuk mengamankan. Hal ini
terjadi pada tahun 2019 yang lalu dimana aparat keamanan menjaga penuh di
pusat. Namun dalam Pilkada justru akan berbeda, misalnya terjadi kerawanan di
Aceh dan Papua saja praktis kekuatan TNI/POLRI akan terbelah menjadi dua dengan
jarak yang jauh. Belum lagi apabila daerah-daerah lainnya juga bergejolak.
Hal-hal demikian, praktis
tidak dimiliki oleh KPU dan Bawaslu. Oleh karena itu, wajar rasanya apabila
Pilkada serentak ini justru akan lebih menguras keringat para pihak yang
berkepentingan dalam menjaga keamanan, pertahanan dan ketertiban. Jangan
sampai, kita terlalu berkonsentrasi dengan Pilkada dengan daerah yang populer,
namun lengah dengan daerah yang justru memiliki tingkat kerawanan yang paling
tinggi.
Dapat kita lihat pada Pilkada
serentak tahun 2017, semua mata justru hanya terpaku pada Pemilihan di DKI
Jakarta, yang membuat seolah-olah tidak ada Pilkada di daerah lain. Sehingga
nantinya kita lengah dengan apa yang
terjadi daerah. Ditambah lagi dengan begitu tajamnya Pilkada yang
mengedepankan Politik Identitas di masyarakat. Maka potensi kekisruhan berbasis
SARA justru akan gampang menjadi penyulut. Disisi lain, belum cakapnya
masyarakat dalam menerima sumber informasi yang di dapat, akan mempetajakam
potensi kekisruhan berbasis SARA. Maka, Dinas Kominfo Daerah sebaiknya responsif
terhadap pemberantasan berita palsu (hoax)
dan tidak membebankan seluruhnya kepada KPU/Bawaslu di Daerah.
Bila kita melihat Pilkada
serentak yang telah dilakukan sejak 2015 yang lalu, banyak temuan pelanggaran
yang ditangani oleh Bawaslu perihal Netralitas ASN. Fritz Edward Siregar (2020)
pernah menyebutkan bahwa konsekuensi dari pelaksanaan pilkada adalah munculnya
gesekan dan menjadi imbas praktik politik praktis yaitu berupa penyalahgunaan
wewenang atau kekuasaan dari oknum pejabat setempat. Hal ini juga berpotensi
besar dalam memunculkan konflik di masyarakat, antara kebijakan pejabat
setempat dengan prinsip penegakkan hukum dan keadilan pemilu
Dilihat dari sisi geografis
dan terkonsentrasinya konflik dalam Pilkada. Ditambah dengan keterbatasan
personil TNI/POLRI dan segmentasi SARA dalam masyarakat yang beragam. Belum
lagi profesionalitas ASN yang diragukan dan masih belum cerdasnya masyarakat di
daerah dalam menerima berita dan informasi. Maka dari itu, dilihat dari
berbagai sudut pandang geopolitik sebagai variabel utama tadi, bersiap-siagalah
bahwa Pilkada serentak adalah bom waktu yang siap meledak.