Walaupun sudah ada berbagai macam buku mengenai kejadian dan
karakter dari upaya kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia telah dipublikasikan,
tetapi banyak aspek penting dari peristiwa itu masih sangat kabur. Terlebih
selama 32 tahun, peristiwa 1 Oktober 1965 (lebih dikenal dengan ‘Gerakan 30
September’) oleh Orde Baru, telah disajikan kepada masyarakat secara berat
sebelah, dengan pemaparan fakta yang selektif dan dirangkaikan sedemikian rupa
untuk membenarkan dasar lahirnya Orde Baru. Dan oleh karena monopoli alat serta
penerangan praktis sepenuhnya dikuasai negara, satu generasi telah dibesarkan
dengan cara indoktrinasi ala P4, yang justru sekarang ini tampaknya ternyata counter
produktif. Tidak mengherankan, kalau sekarang ini banyak mahasiswa dan kaum
muda cenderung secara a-priori menolak setiap keterangan atau interpretasi
sejarah yang bukan buatan Orde Soeharto.
Revolusi Belum Selesai: Prolog
Gestapu
Menjelang
1965, ketegangan dan konflik mewarnai iklim sosial dan politik di Indonesia.
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 1949, Indonesia menjalankan
pemerintahan liberal antara 1950-1959. Eksperimen ini dianggap gagal oleh
Soekarno, maupun oleh tentara. Ukurannya, tak satu pun partai mampu memerintah
cukup lama tanpa dijatuhkan partai lain. Salah satu penyebabnya, tidak ada
partai mayoritas di Parlemen. 4 partai besar: PNI (Partai Nasional Indonesia),
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama), dan PKI
(Partai Komunis Indonesia) memiliki kursi yang hampir sama di Parlemen.
Dengan
persepsi itu, Soekarno, didukung oleh tentara, mengumumkan sistem pemerintahan
baru yang disebut Demokrasi Terpimpin pada 1959[i].
Berpusat pada Seokarno, sistem ini berlandaskan pada dua pilar kekuasaan
politik yaitu Angkatan Darat (AD) dan PKI. Dalam sistem ini, Soekarno harus
selalu menjaga keseimbangan kekuasaan kedua pilar tersebut[ii].
Sebagai kelompok professional, militer tidak memiliki kontrol secara langsung
terhadap PKI. Sebaliknya, PKI, melalui strategi yang dikenal dengan Kerja di
Kalangan Musuh (KKM), menyusup ke hampir semua sector politik yang strategis,
termasuk ABRI.
- a. Demokrasi Terpimpin
Di bawah
Demokrasi Terpimpin, Soekarno membawa Indonesia ke kiri[iii].
Di dalam negeri, ia menerapkan kebijakan Nasakomisasi untuk melebur 3 kelompok
sosial politik yang dianggap sebagai akar-akar seluruh kekuatan politik. 3
kelompok tersebut adalah Nas-ionalis, A-gama, Kom-unis.
Soekarno memimpikan ketiga kelompok ini bersatu untuk menjadi kekuatan
progresif revolusioner demi memajukan Indonesia raya. Pada waktu itu Nasakom
ditafsirkan secara luas, mulai dari persepsi bahwa Nasakom merupakan campuran
ketiga sifat yang harus menjadi kepribadian setiap orang, hingga pandangan
bahwa Nasakom merupakan pemilahan secara formal atas 3 parpol yang membawa
masing-masing sifat. Di atas kertas, konsep Nasakom berjalan baik. Tetapi di
dalam praktik, Nasakom menghasilkan situasi yang kacau.
Di dunia
Internasional, Soekarno mengarahkan Indonesia untuk mengejar posisi sebagai
pemimpin dunia baru yang berbeda dari Blok Barat dan Blok Komunis[iv].
Tetapi, dalam kenyataan, Indonesia cenderung ke Blok Komunis, lebih tepatnya ke
Republik Rakyat Cina (RRC), setelah terjadi perpecahan ideologis antara Uni
Soviet dan RRC. Mengikuti kecenderungan ini, Indonesia berjuang menentang
kekuatan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme) yang ‘rakus’. 2 tugas,
dari beberapa tugas yang diemban oleh Indonesia adalah membebaskan Irian Barat[v]
dari kekuasaan Belanda serta menghancurkan Malaysia, yang dinilai sebagai
negara boneka buatan Inggris. Untuk melaksanankan tugas yang disebut terakhir,
Soekarno melancarkan Politik Konfrontasi, sejalan dengan perjuangan militer dan
diplomatic untuk membebaskan Irian Barat. Secara umum, kebijakan luar negeri
Indonesia ditetapkan untuk melakukan manuver di antara para pemain besar, yaitu
Amerika Serikat, Uni Soviet, dan RRC[vi].
- b. Situasi Ekonomi
Sekalipun
Indonesia pada paruh pertama 1960-an memiliki posisi sebagai pemimpin dunia
baru, ekonomi Indonesia merosot dengan cepat. Selama 8 tahun di bawah Demokrasi
Terpimpin, rata-rata inflasi melonjak dari 2 digit menjadi 3 digit, bahkan
mencapai 650% pada 1965. Terjadi peningkatan deficit anggaran pemerintah, yang
tercatat Rp 23 juta pada 1961 dan meningkat menjadi Rp. 1.500 juta pada 1966.
Utang luar negeri sebelum meletusnya Peristiwa Gestapu sebesar $ 270 juta;
sebagian besar digunakan untuk membangun proyek-proyek raksasa simbolis,
seperti patung-patung, monument, dan simbol-simbol politik lain. Cicilan utang
dan bunga yang harus dibayar pada 1966 sebesar $ 640 juta, sementara pendapatan
nasional hanya $ 400 juta. Ekonomi biaya tinggi akibat inefisiensi dan korupsi
di birokrasi banyak berperan terhadap mundurnya perekonomian[vii].
Kondisi
begitu buruk sehingga kabinet Soekarno gagal menyembuhkan dengan kebijakan
ekonomi macam apapun. Mahasiswa dan kaum intelektual adalah golongan yang
secara khusus prihatin terhadap memburuknya situasi ekonomi. Keprihatinan yang
sama juga datang dari kalangan militer, khususnya para perwira AD yang mengeyam
pendidikan Barat. Mereka mengundang beberapa professor ekonomi, terutama para
alumni University of California-Berkeley, untuk memberikan kuliah di SESKOAD
(Sekolah Staf Komando Angkatan Darat) di Bandung. Di antara mereka adalah Emil
Salim, Mohammad Sadli, dan Widjojo Nitisastro; di kemudian hari, pada periode
pasca-Gestapu, ketiganya ikut merancang blueprint sistem ekonomi yang
baru[viii].
- c. Angkatan Bersenjata
Sebagai
lembaga militer pascakolonial, yang tersusun dari berbagai kelompok masyarakat,
ABRI pada 1964-1965 merupakan lembaga yang terpecah[ix].
Persaingan di antara ketiga angkatan, bahkan dengan kepolisian (yang saat itu
juga berada di bawah struktur Angkatan Bersenjata), bersifat eksplosif.
Presiden Seokarno, sebagai Panglima Tertinggi, mengatur Angkatan Bersenjata
lebih secara politis ketimbang administratif professional.
Sejak
1963, Angkatan Bersenjata tidak mampu membayar utang-utangnya. Akibatnya,
mereka sulit memperoleh dan merawat alat-alat perang. Suku cadang untuk pesawat
tempur, radar, kapal, dan sistem persenjataan lainnya tidak tersedia, sehingga
banyak persenjataan modern kala itu tidak layak dioperasikan[x].
Secara politis,
Angkata Udara (AU) dekat dengan PKI, Angkatan Lau (AL) dan Korps Komando
Operasi (KKO)-nya lebih dekat dengan PNI dan Soekarno. Kepolisian terpecah,
sebagaian lebih cenderung memilih partai-partai nasionalis dan sebagian lagi
dekat dengan partai-partai kiri. Sedangkan para perwira AD terpecah berbagai
afiliasi politik. banyak perwira yang berusaha netral, terbagi dalam berbagai
pandangan politik yang saling bertentangan, dan ada yang anti-Komunis maupun
simpati terhadap komunisme.
- d. Partai Komunis Indonesia
Di bawah
kepemimpinan Aidit, dibantu oleh empat kader lainnya (Sudisman, Njoto, Njono,
MH Lukman, Sakirman), PKI mampu merekrut anggota paling banyak dalam
sejarahnya. Pada 1952, setahun setelah Aidit mengambil alih kepemimpinan
partai, PKI hanya memiliki anggota kurang dari 8.000 orang. Pada 1964, partai
ini mengklaim memiliki 3 juta anggota. Berbagai oraganisasi yang berafilisiasi
dengan PKI juga mengalami lonjakan jumlah anggota. Barisan Tani Indonesia
(BTI), berkembang dari 800.000 (September 1953) menjadi 1. 500.000 pada April
1964. Pemuda Rakyat, beranggotakan 2.0000.000 orang. Sedangkan organisasi sayap
perempuan, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), beranggotakan 1.750.000 orang[xi].
Ada 2
penjelasan yang dapat digunakan untuk menerangkan pertumbuhan jumlah anggota
PKI. Pertama, PKI melancarkan strategi yang radikal dan agresif sehingga
menarik lebih banyak pengikut dan simpatisan dalam waktu yang singkat[xii].
Kedua, PKI mengubah taktiknya dari perjuangan bersenjata menjadi front
persatuan[xiii].
Pada aras filosofis, kelihaian dan kelenturan merupakan gambaran utama ideology
PKI peridode 1959-1965. Praksis ini diperlukan agar PKI dapat bertahan hidup
dan mendapat kemajuan politik.[xiv]
Pada
1954, Kongres Kelima memutuskan PKI menerapkan suatu strategi yang disebut
Kerja di Kalangan Musuh (KKM), yang bisa dijelaskan sebagai berikut: Partai
menerapkan strategi yang dikenal dengan singakatan MKTPB (Metode Kombinasi Tiga
Bentuk Perjuangan)[xv].
Metode tersebut terdiri dari 3 bentuk perjuangan, yaitu (1) perang gerilya di
desa-desa, khususnya oleh buruh tani dan petani miskin; (2) aksi revolusioner
oleh kaum buruh, khususnya buruh transportasi di kota-kota; (3) kerja intensif
di dalam angkatan bersenjata.
PKI di
bawah 5 kamerad berusaha mempribumisasikan marxisme dan komunisme. Di bawah
praksis MKTPB terdapat ‘bahasa komunis’ yang dilokalkan. Daripada menggunakan
cara produksi (mode of production) kapitalis untuk menjelaskan
kesengsaraan rakyat, PKI memilih menggunakan konsep yang lebih sederhana
mengenai 3 sebab kesengsaraan rakyat:[xvi]
- Para
Imperialis, terutama imperialis Amerika, merupakan musuh utama rakyat
progresif di seluruh dunia.
- Di
desa-desa terdapat 7 setan, yaitu: (1) setan tuan tanah yang menolak
melaksanakan ketentuan-ketentuan UUPA dan UUBH; (2) setan pejabat/penguasa
yang membela kepentingan setan tuan tanah; (3) setan tengkulak yang
memeras petani; (4) kapitalis birokrat/kabir yang menyalahgunakan
kekuasaannya untuk memperkaya diri dengan cara mengeksploitasi petani; (5)
bandit desa yang menjadi antek dan kaki tangan tuan tanah; (6) tukan ijon/
money lenders; (7) lintah darat-renternir yang menjerat kaum tani
dalam hutang sepanjang hidupnya.
- Di
kota-kota ada 3 setan kota, sipil dan militer yaitu: (1) kaum kapitalis
birokrat; (2) para penggelap-penipu; (3) pejabat korup.
Konsep
tersebut jelas tidak mengukuti ajaran Marxisme Ortodoks, tetapi memikat kaum
tani. Jadi, logis saja bila bangunan filosofis yang rapuh dan semu itu disapu
Bersih oleh peristiwa Gestapu. Yang kemudian tersisa bukanlah massa yang
militant atau kader komunis, melainkan kaum tani yang putus asa dan tidak
berdaya.
Malam Para Jendral: Gerakan 30
Sepetember 1965. (G30S, Gestapu, Gestok)
Kata pertama yang didengar sebagian
rakyat Indonesia, dan dunia luar, terkait peristiwa berdarah ini, berasal dari
siaran radio Jakarta pada 1 Oktober 1965 jam 7.15 pagi. Pengumuman ini
menyatakan hal-hal sebagai berikut:
Sebagai hasil dari “gerakan militer
di tubuh angkatan bersenjata sendiri di ibu kota Jakarta yang dibantu oleh
pasukan-pasukan dari cabang-cabang Angkatan Darat lainnya”, sebuah organisasi
yang menamakan dirinya Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Oentoeng (Untung), komandan battalion pengawal pribadi Sukarno, Resimen
Cakrabirawa, telah menangkap sejumlah jenderal yang telah membentuk sebuah
kelompok yang disebut “Dewan Jenderal”, telah berhasil menguasai sejumlah
sarana penting di ibu kota, dan sudah menempatkan Presiden dan pimpinan
nasional lainnya di bawah perlindungannya. Aksi ini diambil, menurut pengumuman
radio tersebut, untuk mencegah rencana kudeta oleh Dewan Jenderal yang
disponsori CIA dan dijadwalkan akan menggulingkan Sukarno di hari peringatan Angkatan
Bersenjata 5 Oktober 1965. Pengumuman ini menjelaskan lebih jauh kalau
inisiatif Jakarta akan “diikuti oleh aksi-aksi serupa di seluruh Indonesia
terhadap agen-agen dan simpatisan Dewan Jenderal” dan akan mengawal
pembentukkan Dewan Revolusi Indonesia yang sepenunya bertugas untuk mengemban
pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Secara kronologis dapat diuraikan
sebagai berikut:
Pada tanggal 30 September 1965, di
Lubang Buaya telah ada beberapa satuan-satuan militer. Satuan-satuan ini
terdiri dari Batalyon I Resimen Pengawal Presiden Cakra Birawa, 2 peleton dari
Brigif I Jaya (Brigade Infanteri I Kodam Jakarta Raya), 2 regu Brigade Para, 1
Batalyon PGT (Pasukan Gerak Tjepat-Pasukan Khusus AU), 1 Batalyon dari Yon 530
Divisi Brawijaya-Jawa Timur, Yon 545 Divisi Diponegro-Jawa Tengah.
Letkol
Oentoeng selaku komandan G30S, membagi tiga regu pasukan dengan tugas yang
berbeda, yaitu Pasopati, Bimasakti, dan Priggodani. Pasukan Pasopati yang
dipimpim oleh Lettu Dul Arief dan Letda Siman (Cakra Birawa), bertugas menculik
hidup atau mati, para Jendral yang menjadi sasaran. Pasukan Bimasakti yang
dipimpin oleh Kapten Suradi (Brigif I Jaya), bertugas menguasai obyek-obyek dan
daerah vital, seperti RRI. Pasukan Ketiga dipimpin oleh Mayor (Udara) Sujono,
dengan tugas mengamankan pangkalan militer di Lubang Buaya.
Menjelang
1 Oktober 1965 subuh, kesatuan-kesatuan militer Pasopati itu langsung menuju
rumah tujuh jendral pemimpin puncak Angkatan Darat (AD), yaitu Jendral A.H.
Nasution, Letnan Jendral (Letjend) Achmad Jani, Mayor Jendral (Mayjend)
Suprapto, Mayjend S. Parman, Mayjen Harjono M.T., Brigadir Jendral (Brigjend)
D.I. Pandjaitan, dan Brigjend Sutojo Siswomihardjo. Tujuan utama mereka hanya
satu: menangkap para jendral itu hidup atau mati. Kesatuan-kesatuan itu kembali
dengan membawa 7 korban, tiga diantaranya telah tewas ditembak di tempat
kejadian, 4 lainnya kemudian di bunuh di Lubang Buaya. Namun Jendral Nasution
berhasil selamat.
Pasukan
Bimasakti, yang telah berhasil menguasai stasiun radio, Gerakan 30 Spetember
mulai menyiarkan serangkaian pernyataan dan dekrit. Siaran pertama gerakan
tersebut pada pukul 07.20 pagi melalui Radio Jakarta mengumumkan bahwa sejumlah
Jendral telah ditangkap dan media komunikasi penting serta instalasi-instalasi
vital telah dikuasai oleh Gerakan 30 September[xvii]
dan mengumumkan adanya Dewan Revolusi.
Pada
pukul 02.00 siang, Dewan Revolusi mengeluarkan Dekrit No.1. Dekrit tersebut
menggambarkan kerja hari itu sebagai “suatu pembersihan”, melaporkan sekali
lagi bahwa “sejumlah jendral telah ditangkap”. Dekrit ini juga memberikan
rincian mengenai rencana untuk mendirikan dewan-dewan Revolusi hingga ke
tingkat desa. Kemudian siasat itu menambah 1 putaran politik lain: “Dengan
tumbangnya seluruh kewenangan negara ke tangan Dewan Revolusi Indonesia,
Kabinet Dwikora (Soekarno) secara otomatis menerima status non aktif.[xviii]
5 menit
kemudian, gerakan menyiarkan Keputusan No. 1, yakni komposisi 45 anggota Dewan
Revolusi. Dua nama besar hilang: Soekarno dan Aidit.
Merah Warna Darah Kaum Merah:
Pembunuhan Massal Pasca-Gestapu
Konflik berdarah yang dimulai di
Jakarta, ketika para jendral diculik dan dibunuh, disusul oleh konfrontasi
langsung antar 2 kelompok perwira AD dan pasukan masing-masing di Ibukota.
Tetapi, setelah jeda sesaat, darah merah segera mengalir dan menggenangi tanah di
seluruh di negeri. Jawa Tengah menjadi ladang pembantaian yang pertama; di
provinsi ini tentara melancarkan operasi militer. Tentara yang diujungtombaki
oleh Resimen Para Komando Angkata Darat (RPKAD), memburu Aidit yang melarikan
diri ke Jawa Tengah dan menumpas basis PKI yang tidak siap di sana[xix].
Tentara tak hanya melancarkan operasi terhadap para pengurus PKI, melainkan
juga terhadap anggota dan simpatisannya di Jawa Tengah. Pembantaian massal
terhadap anggota-anggota PKI dan simpatisannya juga terjadi di Jawa Timur,
Bali, sebagian Jawa Barat, berbagai daerah di Sumatera, seluruh provinsi di
Kalimantan (dengan jumlah terbesar di Kalsel), sebagian Sulawesi, dan
pulau-pulau luar Jawa lainnya. Angkatan Darat menuduh bahwa Partai Komunis
Indonesia merupakan dalang dari Gerakan 30 Sepetmber.
Ada
banyak versi tentang perkiraan jumlah korban jiwa pembunuhan massal
pasca-gestapu. (diperkirakan 78.000-2. 000.000). Setiap perkiraan jumlah korban
membawa muatan politik sendiri.
Analisis
Sudisman anggota Politbiro PKI menyatakan bahwa pembunuhan tersebut adalah
hasil dari:
“Perintah-perintah yang dikeluarkan
oleh Jendaral Nasution yang dapat ditafsirkan sangat luas, yang kurang lebih
memerintahkan untuk membasmi kaum komunis hingga ke akar-akarnya, dan harus
diambil tindakan terhadap siapa pun yang dicurigai terlibat langsung maupun
tidak langsung dalam Gerakan 30 September. Berdasarkan perintah-perintah inilah
pembunuhan massal dilakukan. Apakah pengadilan ini juga sependapat dengan saya,
bahwa Jendral Nasution harus bertanggung jawab atas pembunuhan massal ini?”[xx]
Indonesia Pasca Gestapu
Peristiwa
Gerakan 30 September 1965/Gestapu/Gestok dan pembunuhan massal yang mengikuti
kemudian berujung kepada jatuh kekuasaan Soekarno dan dimulainya “Orde Baru”
yang dipimpin oleh Jendral Soeharto. Orde Baru mampu berdiri tegak sampai
kejatuhannya di tahun 1998.
Sejak
tragedi 1965, posisi rakyat Indonesia berubah dari Subyek menjadi Obyek, yaitu
obyek dinamika sosial-politik dan ekonomi negeri sendiri. Di bawah Orde Baru
rakyat dipandang tak lebih dari ‘massa mengambang’ yang hanya dibutuhkan
menjelang pemilu. Jika sebelumnya rakyat Indonesia dengan kekritisannya mampu
bersikap ‘melawan’ terhadap kekuatan modal yang ingin mengebawahkan hajat hidup
orang banyak, setelah tragedi 1965, yang terjadi justru sebaliknya. Modal menjadi
penguasa, status rakyat digesser menjadi ‘pasar’ yang perlu dimanipulasi dan
dieksploitasi.
Seiring
kian derasnya modal asing masuk ke Indonesia, banyak pejabat dan pengusaha
dalam negeri berganti peran menjadi ‘kolaborator’ yang taat, yang tak jarang
mengorbankan kepentingan masyarakat demi kepentingan diri dan pemilik modal
asing. Modal pun kian tampil sebagai tiran yang bengis dan tak kenal ampun. Ia
makin jauh merangsek ke berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, relasi
sosial, agama, pendidikan, administrasi pemerintahan, dll.
Siapa Dalang di balik beristiwa
Gerakan September 30?
Sangat
sulit untuk menarik kesimpulan yang pasti tentang siapa di balik peristiwa
berdarah Gestapu. Berbagai posisi yang kabur dan kurangnya sumber-sumber
tertulis serta saksi-saksi memunculkan berbagai spekulasi tentang dalang
Peristiwa Gerakan September 30. Setidaknya terdapat lima versi sbb:
A. PKI Sebagai Dalang
Versi ini
merupakan sejarah resmi bentukan Orde Baru. Menurut versi ini, PKI lah dalang
Gestapu. Ada beberapa buku resmi terbitan rezim Orba, setidaknya ada 3 “Karya
Standar” yaitu: Nugroho Notosutanto dan Ismail Shaleh, The Coup Attempt of
the September 30 Movement in Indonesia; Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban, Gerakan 30 September PKI; Sekretariat Negara Republik
Indonesia, Gerakan 30 September PKI: Latar Belakang, Aksi, dan
Penumpasannya.
B. Masalah Internal Angkatan Darat
Versi
kedua meyebutkan bahwa Gestapu adalah merupakan masalah internal AD. ada
beberapa fakta kunci yang dijadikan rujukan. Pertama, dan yang terpenting,
mereka yang diculik dan para penculiknya adalah personel AD. Kedua, tidak masuk
akal apabila PKI berjudi dengan menyingkirkan para jendral melalui jalan
kekerasan, sementara partai tersebut menikmati perkembangan dan kekuasaan yang
meguntungkan. Pendukung utama versi ini adalah Cornell Paper karya Ben
Anderson.
C. Soekarno yang Bertanggung Jawab
Anthony
Dake dalam bukunya In the Spirit of the Red Banteng menyatakan:
Seokarno sendirilah
yang memprakarsai ‘kudeta Untung’ dengan harapan ia dapat mempertahankan
kekuatan kontrolnya, tukang sulap yang dapat menyulap hantu-hantu yang
diciptakannya… Tetapi hal ini menjadi awal kiamatnya, dan di dalam keangkuhan
egonya ia terserang kebutaan yang tidak hanya menghancurkan dirinya sendiri
tetapi juga hampir menjerumuskan negaranya ke dalam jurang keruntuhan.
Termasuk
berdasarkan laporam interograsi terhadap Kolonel Bambang Widjanarko, Ajudan
Soekarno, yang mengatakan Soekarno sendiri yang menyusun scenario Gestapu.
D. Soeharto di Balik Gestapu
Versi ini
percaya bahwa Soeharto adalah dalang Gestapu. Ada beberapa fakta yang
mencurigakan. Sebagai Panglima Kostrad dan jendral yang biasa mewakili Panglima
AD bila yang disebut terakhir pergi ke luar negeri, Soeharto adalah jendral
paling penting yang tidak tercantum dalam daftar nama yang harus diculik.
W.F.
Wertheim, mengatakan bahwa Soeharto mungkin memang telah bersekutu dengan
komplotan tersebut. Soeharto tampaknya tidak puas, sebab pemimpin AD gagal
memenuhi tantangan komunis dan memanfaatkan Gestapu sebagai sarana untuk
melibatkan PKI dalam suatu aksi yang dapat menjadi dalih AD untuk melawan
partai tersebut. Sjam yang merupakan anggota Biro Khusus PKI, mungkin adalah
agen Soeharto yang menyusup ke tubuh PKI ketimbang orang PKI yang menjadi
informan AD.[xxi]
Wertheim
menunjukkan bahwa Soeharto memiliki hubungan dengan semua perwira AD yang
terlibat Gestapu. Sebagai Mantan Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto tentu
dikenal baik oleh para pembangkang di Jawa Tengah, dan ada 3 perwira kunci AD
di Jakarta, yaitu: Oentoeng, Latief, dan Supardjo.
E. Jaringan Intelijen dan CIA
Versi ini
menyatakan, jarigan intelejen AD sendirilah yang memprakarsai Gestapu, baik
atas usaha sendiri maupun agen-agen intelijen asing, khususnya Amerika dan
China. Dengan menggunakan transkrip persidangan Njono dan Oentoeng, Coen
Holtzappel, yang mengembangkan mahzab ini, menyimpulkan PKI, maupun Aidit,
tidak pernah membuat perjanjian politik apapun dengann gerakan tersebut atau
dengan anggota dan pemimpin gerakan.[xxii]
[i] Lihat
Lev, Daniel. The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics,
1957-1959. Cornell University Press. Ithaca, New York. 1977.
[ii] Crouch,
Harold. The Army and Politics in Indonesia. Cornell University Press. Ithaca,
New York. 1988. Hal; 45-51.
[iii] Lihat
Feith, Herbeth. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Cornell
University Press. Ithaca, New York. 1962.
[iv] Lihat,
Leifer, Michael. Indonesian Foreign Policy. Allen & Unwin. London. 1983.
[v] Lagerberg,
Kees. West Irian and Jakarta Imperialism. St. Martin’s Press. New York. 1978.
[vi] Weinstein,
Franklin B. Indonesia Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From
Sukarno to Suharto. Cornell University Press. Ithaca, New York. 1976.
[vii] New
York Times (NYT) 18-01-65.
[viii]
Kelompok ini belakangan populer dikenal sebagai “Mafia Berkeley”. BIES
(Bulletin of the Indonesian Economic Studies). 1993.
[ix] Tentang
pembentukan awal ABRI atau TNI, lihat Said, Salim. Genesis of Power: General
Sudirman and the Indonesian Military in Politics., 1945-1949. Institute of
Southeast Asian Studies. Singapore. 1991. Untuk periode selanjutnya, lihat
Sundhaussen, Ulf. The Road to Power: Indonesian Military Politics, 1945-1967.
Oxford University Press. Kuala Lumpur. 1982.
[x] Nasution,
A.H. Ketetapan MPRS. Tonggak Konstitusionil Orde Baru. C.V. Pantjuran Tujuh.
Jakarta. 1966. Hal 73-74.
[xi] Palmier,
Leslie H. The Communist in Indonesia. Zed Books. London. 1973. Hal; 234.
[xii] Pauker,
Guy J. The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia, dalam The
Communist Revolution in Asia: Tactics, Goals, and Achievements. Prentice Hall.
New Jersey. 1969. Hal; 284-287.
[xiii]
Lihat Hindley, Donald. The Communist Party of Indonesia., 1951-1963. University
of California Press. Berkeley. 1964.
[xiv] Mortimer,
Rex. Indonesia Communism under Sukarno: Ideology and Politic, 1959-1965.
Cornell University Press. Ithaca, New York. 1974. Hal; 400.
[xv] Aidit,
D. N. Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia. Sudisman, Tegakkan PKI jang
Marxis Leninis untuk Memimpin Revolusi Demokrasi Rakjat Indonesia (Otokritik
Politbiro CC PKI). www.indomarxits.com
[xvi] Sudisman.
Analysis of Responbility: Defense Speech of General Secretary of the Indonesian
Communist Party at his Trial before the Special Military Tribunal.-Uraian Tanggung
Jawab: Pledoi Sudisman Sekjend PKI di depan Mahmilub. Jakarta 21 Juli 1967.
www.indomarxist.com.
[xvii]
Harian Rakyat, 2 Oktober 1965.
[xviii]
Brackman, Arnold C. Communist Colaps in Indonesia. elstReba. Yogyakarta. 2000.
Hal; 50.
[xix] Lihat
McDonald, Hamish. Soeharto’s Indonesia. University Press of Hawaii. Honolulu.
1980. Hal;81-82.
[xxi] Wertheim,
W.F. Soeharto and the Untung Coup-the Missing Link. Journal of Contemporary
Asia. 1970. Hal 52.
[xxii]
Holtzappel, Coen. Kudeta Straatsgreep in Djakarta. Bompaperback. 1968