Mari saya ajak pembaca untuk memahami secara filosofis terjadinya bencana alam yang seringkali terjadi di Negara kita. Pandangan ini perlu untuk membuat kita memahami secara utuh dan benar, kemudian membuat kita untuk melakukan sesuatu untuk menghilangkan (baca: mengurangi) bencana dan efek-efeknya. Bencana alam tak bisa dipisahkan dari segala tindakan manusia baik pada segi ekonomi, budaya, social, dan bahkan politik. manusia adalah bagian dari alam, dan setiap tindakan (yang lahir dari pikiran dan keputusan) yang dilakukan manusia tentu tak dapat dipisahkan dari alam.
Bencana alam membuat manusia berada dalam tragedi. Seharusnya manusia justru arif dalam menghadapi alam dan bekerja sama (membangun penataan material sosialistis) untuk mengatasinya. Tetapi sistem kapitalisme, yang mengekploitasi alam dan membuat mayoritas manusia ditindas oleh segelinitr elit penguasa (kapitalis dan konco-konconya), membuat alam semakin rusak dan manusia tereksploitasi. Membuat manusia tercerai-berai, terutama antara sedikit orang yang mau hidup enak sendiri berhadapan dengan mayoritas manusia yang dihisapnya.
Bencana alam dan bencana sosial-politik akibat sumber kebijakan yang menindas bukanlah suatu hal yang terpisahkan. Terlalu tolol menganggap bahwa bencana yang dihadapi manusia karena gerak alam (seperti gunung meletus, banjir, tsunami, tanah longsor, dll) adalah hal yang terpisahkan dari bencana akibat kebijakan Negara kapitalistis yang menindas.
Filsafat Alam
Memandang kapitalisme sebagai bentuk tatanan sosial yang menyeluruh sebagai sumber kontradiksi alam dan kemanusiaan, maka kita bisa menggunakan cara pandang Marxis sebagai antitesis (penolakan) terhadap filsafat dan tatanan kapitalisme. Menurut Josef Macha dalam bukunya yang berjudul “Essere Umano e Natura nella Teoria e Pratica Marxista” (1991), sistem pemikiran Marxisme sebagai penolakan terhadap kapitalisme punya yang bersahabat terhadap alam. Filsafat Marxis merupakan “suatu filsafat yang sepenuhnya ekologis: manusia diletakkan dalam rahim alam secara utuh, adalah bagian dari alam, sarana yang diciptakan oleh alam demi perkembangan lebih lanjut alam sendiri, demi pemanusiaan terakhir alam... Bagi Marxis, tak ada satupun dalam diri manusia yang menyeruak mengatasi alam, karena tak ada apapun yang bukan alam.” Pandangan Marxis juga menuntut demokrasi atas kekayaan alam yang menjadi solusi bagi krisis kapitalisme dan efeknya terhadap alam.
Krisis ekologi jelas-jelas merupakan krisis nilai yang muncul dari dominasi nilai-nilai pasar dibanding nilai-nilai yang lain. Kita membutuhkan revolusi moral dalam hubungan kita dengan alam, revolusi yang tidak hanya terhadap keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang tidak bertanggungjawab yang diambil oleh konsumen perorangan, politisi, dan pejabat tinggi. Struktur kapitalis elah menyebarkan—apa yang disebut C. Wright Mills sebagai—“amoralitas tingkat tinggi”, sehingga kita lupa bahwa ada lingkungan alam yang harus dilestarikan bagi keberlangsungan kehidupan, terutama bagi anak cucu kita.
Karl Marx menjelentrehkan masalah krisis ekologis dan langkah-langkah penanggulangannya. Filsafat materialis Marx dipengaruhi oleh Justus von Liebig, ilmuwan tanah abad ke-19. Hal itu yang jelas tercermin dari gagasannya tentang “jurang metabolis” (metabolic rift) yang tumbuh di antara daerah pedesaan dan perkotaan, dan dislokasi ekologis sebagai akibatnya. Sosiolog dan peneliti lingkungan ini mengingatkan bahwa tradisi materialis, dalam berbagai bidang ilmu, telah mampu memprediksi permasalahan ekologis sejak awal dan lebih substansial dan banyak memberikan sumbangan bagi kita untuk melihat krisis ekologis yang bersumber dari kapitalisme global sekarang ini.
Pandangan Marxian dalam hal ini tidak mengkotak-kotakkan pandangan antroposentris (berpusat pada manusia) atau ekosentris (berpusat pada alam), pro-manusia atau pro-alam. Marx sejak awal menegaskan bahwa inti masalahnya lebih mengacu pada interaksi hubungan antara manusia dan alam, bagaimana kita mengatur hubungan kita dengan alam. Mengatur hubungan manusia dengan alam dan proses yang terjadi dalam lingkungan hidup berkaitan dengan perkembangan hubungan sosial.
Sayangnya, para analis dan politisi Marxis tidak benar-benar mengikuti jejak sang guru (Marx), sehingga pandangannya tentang ekologis hilang. “Materialisme dialektis” yang berasal dari Uni Soviet sifatnya over-positif dan terlalu memuja serta memakai ilmu pengetahuan yang salah. Hal ini mengakibatkan analisis ekologis jadi salah kaprah. Karena pengetahuan mekanis tidak memberikan ruang bagi manusia. Gara-gara Stalinisme, yang sebenarnya bukan sosialisme tetapi kapitalisme negaralah, yang menyebabkan banyak kalangan yang akhirnya meninggalkan filsafat alam Marx yang komprehensif.
Sebagaimana Marx, alam harus dilihat sebagai keseluruhan bagian-bagiannya dan juga memiliki kekhususan hubungan, manusia termasuk bagian dari alam yang harus menyeimbangkan hubungan sosial dengan mengatur hubungan demokrasi. Demokrasi politik versi pemodal tidak akan menjadi solusi bagi krisis lingkungan. Demokrasi ekonomi, atau dalam kana ekologis disebut sosialisasi alam, harus dibuat untuk memungkinkan setiap manusia (bagian dari alam) memiliki dan merawat alam.
Bukankah kapitalis memandang alam (termasuk di dalamnya manusia) sebagai suatu yang hanya berguna sebagaimana untuk menumpuk keuntungan saja? Bukankah manusia sebagai bagian dari alam tidak dihargai, seperti buruh-buruh (tenaga kerja) yang harus dibayar murah? Dan alam akan terus diekploitasi, hutan-hutan ditebang dan tanah-tanahnya dilubangi (kasus Freeport dan Newmont hanya sedikit kasus), sawah-sawah dan ladang-ladang (tanah-tanah) digusur baik dengan cara halus dan paksa?
Eksploitasi
Dan bencana memang selalu menyebabkan Tragedi. Biasanya akan muncul berbagai macam persepsi terhadap kejadian yang mendatangkan tragedi ini. Persepsi dominan muncul dari pendekatan agama yang menganggap hal itu adalah bagian dari takdir yang harus diterima karena Tuhan murka pada manusia. Maka berbagai agamawan ditugaskan tampil, untuk mengajak bahwa masyarakat harus bersabar, pasrah pada Tuhan.
Ada juga yang mempolitisirnya. Calon kepala daerah dan tokoh masyarakat yang butuh suara dan dukungan politik akan segera datang ke wilayah bencana, memberi bantuan atau sekedar tampil agar dianggap peduli. Bencana adalah ajang yang tepay bagi tokoh atau politisi untuk membangun citra politik yang berguna bagi memperoleh dukungan suara. Datang ke wilayah bencana berarti merupakan bentuk tindakan membangun investasi politik seseorang atau kelompok yang punya kepentingan politis.
Dan bencana alam tampaknya akan menjadi peristiwa yang akan terus terjadi. Gunung meletus, bajir, tsunami, tanah longsor, dan lain-lainnya sudah merupakan kejadian biasa di sebuah wilayah yang memang secara geografis memiliki syarat-syarat material bagi terjadinya bencana, seperti negeri Indonesia. Banyaknya gunung berapi, meningkatnya tindakan meruask lingkungan, lempeng bawah tanah yang sedang ber-evolusi dan berdialektika pada alamnya sendiri, juga ditambah dengan cuaca dan iklim yang kian ekstrim akibat pemanasan global (global warming), menjadikan negeri kita dalam waktu lama masih akan terus dilanda bencana.
Pada dasarnya alam memang berdialektika dan berkontradiksi. Alam adalah hubungan antara materi-materi yang membuatnya berubah. Peristiwa alam seperti gempa, tsunami, banjir, gunung meletus, hingga hilangnya pulau dan munculnya pulau baru dalam sejarah alam yang panjang merupakan bagian dari dialektika alam itu sendiri yang terjadi secara nyata, tak menuruti harapan atau subjektifitas manusia. Kita harus ingat, manusia hanyalah bagian kecil sekali (sangat dan amatlah kecil) dibanding alam yang memiliki kontradiksi-kontradiksi itu.
Tetapi karena manusia hidup di alam untuk memenuhi dirinya, mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya, maka manusia juga bisa mempengaruhi, baik memperlambat atau mempercepat gerak dan dialektika alam, baik yang menuju kondisi yang mendukung atau menyangkal upaya manusia dalam bertahan dan mengembangkan hidup.
Kapitalisme adalah tatanan yang membuat manusia berhubungan dengan cara yang jelek, individualis, liberalistik, dan nilai-nilai sosialistik (kebersamaan) hilang. Karena itulah, kapitalisme telah membuat manusia yang terintegrasi dalam pemenuhan bersama, karena alam diekploitasi demi sedikit pemilik modal dan politisi pendukungnya, pun manusia sebagai bagian dari alam hanya ditempatkan sebagai tenaga kerja yang tak dihargai, diupah rendah, dan dihisap demi kemewahan kaum konglomerat.
Solidaritas hilang bukan karena watak manusia yang pada dasarnya tidak solider, tetapi watak itu dibentuk oleh sistem dan ideologi yang disebarkan kapitalis-borjuis. Inilah yang membuat iman solidaritas antara sesama manusia hilang. Ketika ada bencana, manusia sudah tak mampu melihatnya sebagai ancaman yang serius sebagai bagian dari bahasa yang jadi bagian dari kapitalis, tapi dianggap urusannya sendiri-sendiri (individualisme). Pemerintah juga tak segera turun-tangan mengulurkan bantuan darurat, selalu terlambat dan menyakiti rakyat.
Demikian juga para politisi, ditengah krisis kesejahteraan dan adanya bencana yang terus-menerus terjadi tiap hari, mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang berperan untuk menanggulangi masalah rakyat yang kian parah akibat bencana dan kebijakan. Para politisi malah justru menambah masalah dengan melakukan tindakan-tindakan anti-rakyat. Sukanya mengurusi gaji dan tunjangannya agar dinaikkan, sukanya ”garong” sana-sini karena memiliki otoritas, sukanya menghabiskan uang negara hanya untuk ”kunjungan kerja” yang diragukan manfaatnya.
Negeri ini adalah ”negeri bencana”, tetapi semua orang dikondisikan untuk tidak peduli. Untuk acuh, cuek bebek, dan terus saja merasa bahwa hidup adalah urusan sendiri-sendiri. Bahkan ketika terjadi bencana alam, tak ada analisa serius dan kemudian melakukan kebijakan tanggap bencana yang bersifat jangka panjang dan melibatkan potensi-potensi kemanusiaan (teknologi, pengetahuan, rasa solidaritas) untuk mengatasi bencana yang datang sewaktu-waktu.
Banyak yang mimpi, dengan menganggap bahwa bencana alam akan dapat diatasi tanpa menyelesaikan dulu bencana kebijakan. Kontradiksi alam memang menjadi bagian dari alam. Dan itu harus dijelaskan dan kemudian dihadapi dengan teknik dan ilmu yang canggih. Tetapi hal itu tak terjadi di sini, pemerintahan saja sangatlah cuek. Apalagi para agamawan atau politisi yang berkedok agama, bencana justru akan dimanfaatkan untuk memobilisasi dukungan atas nama “takdir Tuhan” pada kelompoknya.
Bencana, bencana alam dan bencana sosial (kemiskinan) justru membuat semaraknya kemunculan para penjual agama yang dengan jualan kotbah dan “siraman rohani”-nya akan mampu membuat korban bencana terhibur dan lupa akan kontradiksi alam dan kenyataan sosial. Mereka hanya bisa berkata: “Ayo kita kembali pada Tuhan, kita sedang diuji, dan ini akan selesai kalau kita berdoa dan bersabar. Setidaknya kalau bencana adalah bagian dari dunia yang akan segera menghilangkan nyawa kita, kita justru harus perkuat iman dan doa, untuk mempersiapkan di akhirat kelak”.
Inilah negeri bencana yang masyarakatnya semakin tak berdaya. Di mana ancaman alam dihadapi dengan pasrah diri dan janji-janji akhirat membuat manusia-manusianya pasrah saja, tidak mau bersatu berbagi kesejahteraan dan menyatukan kekuatan untuk menjawab kontradiksi alam. Inilah negeri di mana janji-janji surga bergema kembali ketika bencana terus saja terjadi. Inilah negeri yang paling menjijikkan yang manusia-manusianya terhempas oleh bencana alam dan bencana kebijakan politik kapitalistis.
Akankah tetap begini negeri ini? Negeri yang jadi bahan tertawaan bangsa lain, karena mental manusianya lemah, dan selalu terus saja pasrah pada keadaan. Inilah negeri yang dibentuk oleh mental terjajah yang berlangsung lama, ribuan tahun penindasan tuan feudal (kerajaan) yang raja-rajanya menghisap kerja rakyat jelata yang mau tunduk hanya karena mereka menganggap dirinya “wakil Dewa” di muka bumi; yang dijajah 350 tahun oleh Belanda; dijajah 3 tahun oleh Jepang, 33 tahun Orde Baru, ditambah era reformasi oleh pemerintahan borjuis-feudal yang berkongkalikong dengan modal asing di era neoliberalisme sekarang ini. Bangsa terjajah, dan tak pernah terjadi revolusi demokratik seperti bangsa lain, mentalnya akan menyisakan mental terjajah yang dicirikan dengan tunduk, patuh, suka menjilat, malas berfikir—bangsa yang disebut oleh tokoh Revolusioner Bung Karno sebagai “BANGSA BERMENTAL TEMPE”!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar