Diawal tahun 2011 ini, carut marut pemberantasan korupsi, mafia hukum dan pajak semakin santer terdengar. Tidak hanya Gayus H. Tambonan yang menjadi the rising star dalam kasus ini, Namun anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) juga tidak mau ketinggalan dalam penyelesaian kasus ini.
Tak pelak, Hal ini juga menjadi sebuah polemik dan konsumsi publik yang nyaris ada setiap harinya. Hal ini wajar saja dalam problematika kehidupan Negara berdemokrasi, dimana setiap warga Negara berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dan dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28F. Pada era informasi sekarang ini masyarakat dihadapkan dalam berbagi isu-isu publik yang dapat mengundang partisipasi ataupun mobilisasi yang nantinya akan berisikan opini, kritik dan saran yang haruslah membangun kedepanya. Alhasil, segala informasi dapat tersebar cepat dan luas seperti: pelesiran Gayus Tambunan dari penjara, tata cara penggemplengan pajak, hingga pembuatan paspor dan lain-lain
Kegeraman masyarakat akan citra hukum yang terlihat sedang mengalami penyakit “lugu akut”, membuat para anggota dewan yang terhormat mengambil langkah responsif dan cepat dalam menyikapi hal tersebut. Hal ini sangatlah bagus mengingat system perwakilan yang kita anut. Bermula dari pemanggilan Kapolri oleh Komisi III DPR, yang membawahi Hukum, HAM dan Keamanan, perihal kasus Gayus Tambunan sebagai mafia hukum dan mafia pajak. Dan, hasilnya, sebagian dari anggota DPR mengajukan hak angket dalam penanganan kasus tersebut.
Dewan Legislatif di Indonesia memang memiliki hak interpelasi, hak menyatakan pendapat dan pastinya juga hak angket. Menurut Prof. Miriam Budihardjo; Hak angket adalah hak anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri. Untuk keperluan ini dapat dibentuk suatu panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikannya kepada anggota badan legislative lainnya, yang selanjutnya merumuska pendapatnya mengenai soal ini dengan harapan agar diperhatikan oleh pemerintah.
DPR periode 2009-2014 telah melaksanakan hak angket yang pertama pada awal periode, yaitu perihal kasus Century. Bila hak angket ini resmi ditekan oleh mayoritas anggota DPR, maka perlulah dibentuk Panitia Khusus (Pansus) yang anggotanya dipilih oleh paripurna yang dimana kuota panitia berdasarkan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pansus menjalankan tugas yang telah ditetapkan oleh paripurna dan mempertanggungjawabkan kinerjanya untuk selanjutnya dibahas dalam rapat paripurna.
Memang dalam teori sistem, Negara kita ini menganut paham presidensial namun hal ini tidak menjamin kekuasaan yang terbesar ditangan presiden. Seperti realita yang kita lihat, tentang bagaimana fenomena politik Indonesia pada awal-awal periode ke dua di rezim SBY ini. Dikejutkan dengan kasus Century yang ”super power“ dari pihak legislatif yang nyaris memperkeruh suasana politik ataupun kejatuhan rezim SBY-Boediono yang belum cukup setahun pada masa itu. Sehingga realita yang terlihat adalah terlalu tingginya pengaruh legislative dalam mengubah haluan politik Indonesia, sehingga terkesan seperti demokrasi perlementer. Dillihat dari perspektif kinerja, DPR-RI juga belumlah menampakan hasil kerja nyata dan hanya terkesan menghabiskan anggaran. Seperti studi banding keluar negeri yang dimana tidaklah memiliki urgensi yang fundamental dalam menyikapi keadaan sosial politik yang berkembang.
Dalam kasus Hak Angket Bank Century saja, dapat dilihat telah menghabiskan dana milyaran rupiah. Dan hingga sampai saat ini hasil dari hak angket tersebut tidak jelas. Dalam paripurna hanya vonis politik yang dapat dihasilkan dan tidak memiliki punishment yang jelas dalam sistem demokrasi Indonesia, Namun hanya menjadi sebuah tarik ulur kepentingan dengan ditandai dengan munculnya Koalisi Sekretariat Gabungan (Setgab) yang berhasil melemahkan langkah politis pansus Bank Century. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa DPR melakukan langkah politik tanpa dilanjutkan dengan langkah hukum, sehingga perekrutan pansus hanya menjadi penghasilan tambahan bagi anggota dewan.
Hak angket pajak ini telah ditanda tangani oleh mayoritas anggota dari fraksi golkar. Wajar bila partai Golongan Karya ngotot dalam hal ini, dikarenakan agar posisi partai mendapatkan citra yang baik dari masyarakat, terlebih Ketum Golkar disebut-sebut sebagai penggemplang pajak. Sehingga masyarakat dapat mengubah argumentasi tentang Golkar, Bakrie dan kapitalnya.
DPR mulai mempolitisasi masalah.
Seperti yang telah ditulis diatas bahwa sebagian dari anggota DPR-RI akan menggagas dan mengusulkan kepada paripurna tentang hak angket pajak. Dimana DPR-RI sebagai wakil rakyat bertindak responsif, dan saat ini mencoba untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Namun ironisnya kali ini DPR akan mengajukan hak angket pajak dimana kasus ini sudah terlebih dahulu ditangan aparat penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Presidenpun juga telah meluncurkan instruksi presiden tentang masalah pajak tersebut yang dimana berisikan 12 point.
Ada beberapa point yang harus kita kritisi dalam langkah DPR-RI ini. Pertama, DPR-RI mencoba untuk membawa hal ini keranah politik, sehingga nantinya akan terjadi perdebatan yang panjang dan akan ada lobi-lobi politik dan tarik-ulur kepentingan diparlemen secara umum ataupun di pansus secara khususnya. Padahal ranah hukum telah terlebih dahulu menyikapi hal tersebut, seperti yang ditulis diatas.
Kedua, anggaran dana yang harus disiapkan tidaklah sedikit dan mungkin akan melebihi anggaran pansus Century. Hal ini dikarenakan kasus pajak lebih rumit dan akan memakan waktu yang tidak singkat dalam penyelesaiannya. Penyelidikan ini tidak hanya memakan waktu dua ataupun tiga bulan, bias jadi bertahun-tahun; mengingat begitu banyaknya perusahaan yang ada ditangan Gayus Tambunan saja, dan beberapa pihak yang involve dalam kasus ini. Ini membuat kesan DPR-RI lebih menjadi profit oriented dengan pertimbangan honor anggota yang akan diterima dan masyarakat akan melihat ini hanya sebagai pemborosan anggaran Negara.
Ketiga, kasus Bank Century yang menyita mata publik tidak akan bisa dilupakan begitu saja. Sehingga prioritas kasus pun akan menjadi bahan perbincangan dimasyarakat. Hak angket yang menjadi ekspektasi dari masyarakat dalam penyelesaian fenomena yang berkembang, hanya menjadi nostalgia “dagelan” politik anggota dewan yang melebihi rating sinetron ataupun reality show ditelevisi swasta.
Keempat, Mahkanah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa UU no 6 tahun 1954 tentang penetapan hak angket legislatif tidak memiliki kekuatan hukum. Artinya meskipun nantinya jatuh keputusan dan hasil penyelidikan secara politis maka tidak ada akan berarti-apa. Hal ini menjadi lebih konkret bila follow-up dilakukan oleh pansus dan membawa kasus ini keranah hukum, sehingga menghasilkan punishment dan kepercayaan masyarakat terhadap anggota dewan juga semakin kuat.
Jadi apakah penting hak angket perihal pajak diusulkan oleh DPR-RI? Jawabnya adalah cukup. Cukup sudah DPR-RI menghabiskan anggaran rakyat demi suatu hal yang tidak ada gunanya dan biarkanlah proses hokum yang berjalan dan janganlah dipolitisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar