(Perspektif United Nation Development Program dan Persiapan
Pemilu 2014)
A. Latar Belakang
Kontruksi
budaya dan sosial yang awalnya memasung perempuan dan menempatkan perempuan
pada wilayah privat (urusan rumah tangga), macak, manak dan masak,
telah membuka jalan pada perempuan untuk berkiprah pada wilayah publik dengan
kebijakan pererintah yang lahir pada tahun 2003 tersebut.
Seiring
dengan perkembangan dan beragamnya persoalan perempuan yang haknya sering
dirampas dan belum diletakkan sebagaimana mestinya oleh masyarakat, misalnya
tingginya tingkat kekerasan perempuan secara psikologis dan fisik menggugah
pola pikir dibeberapa kalangan aktivis perempuan maupaun politisi yang dekat
dengan produk kebijakan untuk mengkaji masalah ini secara serius, tidak hanya
menjadikan bagian objek kajian saja. Legitimasi Negara tersebut harus
dimanfaatkan sebagai moment politik bagi kuam perempuan. Tidak hanya hiasan
formalitas yang hanya untuk memenuhi jumlah undang–undang saja .
Secara
umum, hak –hak perempuan dianggap telah memiliki signifikansi yang kuat di masa
modern. Namun secara Historis perempuan masih juga telah tersubordinasi oleh
laki –laki. Perempuan dianggap sebagi jenis kelamin ke dua, sebagaimana Simon
de Behavoir menggambarkan perempuan. Kita
mendengar gerakan pembebasan perempuan di Eropa di amerika di awal tahun enam
puluhan. dinamika ini terjadi juga di negara –negara berkembang atau negara
dunia ketiga. Hanya saja realisasi keadilan gender bukanlah perkara mudah.
Bahkan di Barat yang sangat maju di bidang industri, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang rata rat melek hurufnya 100% dan tingkat pendidikan tinggi kaum
perempuan jauh lebih besar dan potensi lapangan pekerjaan dan gender yang lebih
besar, kaum perempuan masih menempati pada posisi subordinat. Pemukulan istri (wife-
battering ) juga masih merajalela. Namun demikian kita tidak menafikan
bahwa di wilayah dunia ketiga kesadaran tentang keadilan gender juga meningkat
tajam. Kaum elit pada kalangan perempuan kota memimpin gerakan perempuan itu,
karena mereka sangat terdidik dan memiliki kesadaran tinggi terhadap isu gender
bahkan hak asasi manusia menjadi isu sentral.
Perempuan
Indonesia sudah terlibat dalam perjalanan bangsa sejak revolusi fisik sampai
sekarang adalah modal sejarah yang bisa dipakai perempuan Indonesia dalam era
reformasi yang sudah megakui peran perempuan memalui legitimasi Undnag –undang
partai maupun dalam bentuk intruksi presiden. Perempuan perempuan hebat seperti Kartini, Cut Nyak
Dien, Dewi Sartika yang menjadi figur nyata bagi perempuan Indonesia untuk
mengisi pembangunan bangsa ini. Dengan terjun pada wilayah politik ungensi
perempuan Indonesia akan satu kelas lebih maju dari sebelumnya denngan
memanfaatkan keterbukaan dan globalisasi dalam emansipasi yang lebih besar
untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lebih bermartabat. Perempuan harus
lebih aktif mulai dari perlibatan dalam APB Nagari sampai pada kebijakan yang
lebih tinggi, karena ia sebagai kekuatan perubahan dalam masyarakat, mengingat
jumlah perempuan di Indonesia lebih besar dari pada laki laki.
Politik
yang identik dengan maskulinitas dengan produknya yang masih memarginalkan
perempuan dimana pokok masalah masih di lihat pada sudut pandang laki - laki.
Oleh karenanya masih minimal jumlah perempuan yang bergabung dan terjun dalam
dunia politik. Pada tahun Pemilu 2004 yang satu tahun telah diterbitkanya undang
undang tentang kuota 30% pada perempuan masih menempatkan perempan pada nomer
urut sepatu dan memilki peluang yang sangat kecil untuk menembus kursi
Parlemen. Karena itu perjuangan ini akan efektif bila sarana politik yang sudah
tersedia dengan jatah 30% harus benar - benar terisi untuk membangun kekuatan
politik diparlemen mendatang.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang
diatas dapat kita simpulkan bahwa ketertinggalan wanita membutuhkan suatu
langkah-langkah atau strategi dalam sebuah pembangunan sehingga dapat rumuskan
masalah yakni, Bagaimana Strategi dalam pemberdayaan perempuan dalam politik
menurut perspektif UNDP dan persiapan pemilu 2014?
C. Konsep Strategi
Pengertian konsep
strategi itu sendiri berasal dari bidang militer. Kata itu sendiri berasal dari
bahasa Yunani yaitu stat-egia yang
artinya kepemimpinan atas pasukan, seni memimpin pasukan.[1] Hingga awal zaman
industrialisasi pengertian strategi hampir hanya sebatas pada makna militer.
Baru kemudian sesudah itu pengertian strategi mengalami perluasan makna kedalam
bidang-bidang lainnya seperti ekonomi, politik, dan kemasyarakatan.
Van Clausewitz
menjelaskan bahwa tujuan strategi bukanlah merupakan kemenangan yang nampak di
permukaan, melainkan yang terletak di belakangnya. Pengertian ini sangatlah
penting bagi perencanaan strategi politik. Sedangkan strategi menurut Jack Plano merupakan rencana yang
menyeluruh atau berjangka panjang
yang mencakup serangkaian gerakan yang langsung diarahkan untuk mencapai tujuan
yang menyeluruh. Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Jack Plano di atas
bahwa dalam strategi terdapat[2]:
-
Suatu rencana, yang sifatnya menyeluruh dan
memiliki rentang waktu yang panjang.
-
Di dalam rencana tersebut mencakup serangkaian
kegiatan yang diarahkan pada tujuan yang diharapkan.
-
Tujuan yang menjadi sasaran dari serangkaian
kegiatan yang dilakukan.
-
Sebuah rencana sistematis untuk mencapai tujuan
yang diinginkan kelompok.
Konsep strategi itu
sendiri bermakna pola alokasi sumber daya dalam uapaya mencapai berbagai
sasarannya, di lain hal disebutkan bahwa pengertian strategi adalah merupakan
alat untuk mencapai tujuan dan dalam perkembangannya konsep ini terus
berkembang yang pada intinya dapat dikatakan sebagai tujuan jangka panjang dari
suatu organisasi, serta pendayagunaan dan alokasi sumber daya yang penting
untuk mencapai tujuan tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Chandler
dalam Freddy Rangkuti yakni strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan
perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut
serta prioritas alokasi sumber daya.[3]
Di samping itu, Warsito Utomo
dalam Tarmizi Ismail mengatakan bahwa strategi merupakan suatu pendekatan, alat
atau pola kegiatan yang terencana untuk mencapai tujuan yang difokuskan pada a few key or critical areas, atau secara
sederhana dapat dikatakan bahwa strategi merupakan suatu pilihan tindakan
kebijakan yang betul-betul mampu memecahkan masalah yang dihadapi[4]. Efektif tidaknya suatu strategi ditentukan oleh ada
tidaknya kesepadanan antara sumber daya organisasi dengan lingkungan luarnya.
Konsep kesepadanan antara skill dan resources organisasi denga lingkungan
luarnya mendapat pengakuan dari kalangan teoritis.
Menurut Jhon M. Bryson
strategi secara luas dapat dipandang sebagai pola tujuan, kebijakan, program,
tindakan keputusan atau alokasi sumber daya yang mendefinisikan bagaimana
organisasi itu, apa yang dikerjakan organisasi, dan mengapa organisasi itu
melakukannya.[5] Oleh karena itu strategi
dapat dikatakan sebagai perluasan misi guna menjembatani organisasi dan
lingkungannya dalam pencapaian tujuannya. Strategi biasanya dikembangkan un tuk
mengatasi isu strategis, strategi menjelaskan tentang respon organisasi
terhadap pilihan kebijakan pokok (jika pendekatan sasaran bagi isu strategis
yang diambil, strategi akan dikembangkan untuk mencapai sasaran; atau jika
pendekatan visi keberhasilan yang diambil, stgrategi akan dikembangkan untuk
mencapai visi itu).
Dalam berbagai definisi,
strategi sebagai rencana berskala besar yang berorientasi jangkauan masa depan
yang jauh serta ditetapkan sedemikian rupa sehinga memungkinkan organisasi
berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya dalam kondisi persaingan yang
kesemuanya diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan dan berbagai skala
sasaran organisasi yang bersangkutan.[6]
Secara singkat strategi
dapat juga didefinisikan sebagai “a plan to achieve the mission and meet the
mandates” atau suatu rencana untuk meraih misi dan melaksanakan mandat.[7] Maka secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa strategi merupakan suatu rencana untuk mencapai suatu
tujuan tertentu yang disusun sedemikian rupa oleh suatu organisasi yang sesuai
dengan misi yan hendak dicapainya, sekaligus untuk melaksanakan mandat atau
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan mempertimbangkan pengaruh faktor
lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal, dimana strategi tersebut
harus bersifat efektif.
D. Analisis
a. UNDP
Perempuan dan anak
perempuan yang unik dan terpengaruh oleh konflik bersenjata dan bencana. Dalam
pasca konflik dan pengaturan bencana, mereka sering menderita kurangnya
keamanan dan dikecualikan dari pengambilan keputusan dan partisipasi dalam
bidang ekonomi, sosial, dan politik. Hukum nasional dan sistem peradilan juga
tetap diskriminatif terhadap mereka. Krisis dapat memberikan kesempatan untuk
mendobrak hambatan tradisional dan peran yang sering membatasi kontribusi
perempuan kepada masyarakat, dan "membangun kembali dengan lebih
baik" di mana kesenjangan tidak diabaikan.
UNDP berpandangan
bahwa bila mana perempuan berhasil sebagai politisi, memperoleh suara melalui
kepemimpinan dan partisipasi. Perempuan akan berdampak pada peningkatan
kebijakan sebagai sistem pemerintahan menjadi lebih inklusif, demokratis dan
bebas dari kekerasan. Ketika perempuan berpartisipasi dalam politik, ada
manfaat untuk wanita, pria, anak-anak, masyarakat dan bangsa. UNDP berusaha
untuk memastikan bahwa perempuan memiliki suara yang nyata di semua lembaga
pemerintahan sehingga perempuan dapat berpartisipasi secara setara dengan
laki-laki dalam dialog publik dan pengambilan keputusan.
Untuk meningkatkan
perempuan dalam politik, sosial, dan pemberdayaan ekonomi konflik bersenjata
dan pengaturan bencana, UNDP berpandangan bahwa[8]:
a) Memperkuat keamanan
perempuan dan anak perempuan melalui penegakan hukum, keamanan dan reformasi
sektor keadilan, dan multi-sektoral pencegahan dan penanganan kekerasan seksual
dan berbasis gender
b) Mendukung partisipasi
politik perempuan, pemberdayaan dan representasi, termasuk pemerintah pusat dan
daerah, pencegahan konflik dan proses perdamaian
c) Bekerja dengan
pemerintah nasional untuk mengembangkan kebijakan dan jasa yang bermanfaat bagi
perempuan dan laki-laki sama-sama
d) Mendukung pemulihan
ekonomi dan upaya reintegrasi yang memberikan peluang mata pencaharian sesama
dengan perempuan, termasuk akses terhadap tanah dan kredit
e) Bekerja sama dengan
mitra internasional dan nasional dalam agenda kebijakan global PBB tentang
Perempuan, Perdamaian dan Keamanan
b. Indonesia (fakta terbaharukan)
Pada tanggal 28 Oktober 2012, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah
mengumumkan hasil verifikasi administrasi 16 partai politik calon peserta
pemilihan umum (Pemilu) yang berhasil lolos verifikasi dan 18 partai politik
yang gagal menjadi peserta pemilu. Verifikasi Partai Politik calon peserta
Pemilu ini dilakukan oleh KPU berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(PKPU) No. 7 Tahun 2012 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014 dan PKPU No. 8 Tahun 2012 tentang
Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, serta PKPU No. 12 Tahun 2012 tentang
Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 8 Tahun 2012.
Pasal 4 ayat 2 (butir e ) PKPU No. 8 tahun 2012 menentukan bahwa Partai
Politik peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
adalah wajib memenuhi persyaratan, salah satunya adalah menyertakan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada
kepengurusan tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian dalam PKPU
No. 12 tahun 2012 adalah kewajiban memenuhi keterwakilan perempuan dalam
kepengurusan parpol diperingan, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat 2a ,
yaitu: “Dalam bila hal syarat keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh persen) pada kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan
kabupaten/kota tidak terpenuhi, partai politik membuat surat pernyataan
sebagaimana formulir Model F-13 Parpol”. Ke-16 partai politik yang lolos
verifikasi administratif adalah:
1) Partai Nasional Demokrat (Nasdem),
2) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
3) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
4) Partai Bulan Bintang (PBB),
5) Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura),
6) Partai Amanat Nasional (PAN),
7) Partai Golongan Karya (Golkar),
8) Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
9) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra),
10) Partai Demokrasi Pembaruan (PDP),
11) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI),
12) Partai Demokrat,
13) Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
14) Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB),
15) Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), dan
16) Partai Persatuan Nasional (PPN).
Dengan telah diumumkannya ke-16 partai politik tersebut sebagai partai
politik calon peserta pemilu yang lolos verifikasi administratif, tentunya KPU
telah mengidentifikasi partai politik yang memenuhi syarat menyertakan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada
kepengurusan tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota dan partai politik yang
menyampaikan surat pernyataan sebagaimana formulir Model F-13 Parpol karena belum
dapat dipenuhinya syarat keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh persen) pada kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
E. Solusi
Dalam strategi
kesetaraan gender, UNDP berusaha untuk menghilangkan bias gender dalam
pembangunan nasional dan internasional, menggabungkan kesadaran gender ke dalam
kebijakan, program dan reformasi kelembagaan, melibatkan laki-laki untuk
mengakhiri ketidaksetaraan gender, dan mengembangkan alat peka gender untuk
memantau kemajuan dan menjamin akuntabilitas.
Untuk memenuhi prinsip transparansi,
akuntabilitas, dan pemenuhan hak atas informasi publik bagi masyarakat, Komisi
Pemilihan Umum seharusnya menginformasikan kepada publik[9]:
1.
Jumlah partai politik yang menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh persen) pada kepengurusan di tingkat pusat, provinsi dan Kabupaten /kota.
2.
Jumlah partai politik yang belum berhasil menyertakan sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh persen) pada kepengurusan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota. Informasi ini juga dilengkapi dengan keterangan mencakup jumlah
dan persentase kepengurusan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang telah
memiliki keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen),
memiliki keterwakilan perempuan tetapi belum mencapai 30% (tiga puluh persen),
dan tidak ada (0%) keterwakilan perempuan.
3.
Analisa tentang sebab-sebab tidak terpenuhinya syarat minimal 30% (tiga
puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik.
Sementara menurut
UNDP, kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan adalah hak asasi manusia yang terletak di
jantung pembangunan dan untuk melakukan pencapaian Tujuan Pembangunan
Milenium atau biasa disebut dengan Millennium
Development Goals (MDGs). Dengan demikian maka UNDP melakukan merampungkan tuntutan
berupa program yang dilaksanakan oleh dunia internasional sebagai berikut[10]:
1) Meningkatkan jumlah
perempuan di jabatan public
2) Meningkatkan
kepemimpinan perempuan dengan membantu untuk mereformasi proses pemilu, mereformasi
partai politik, dan memperkuat parlemen, peradilan dan layanan sipil
3) Memperkuat kemampuan
organisasi perempuan untuk mengadvokasi dan melaksanakan proyek-proyek yang
mempromosikan hak-hak perempuan
4) Mempromosikan
reformasi peradilan untuk menjamin perlindungan hukum yang sama bagi perempuan
dan laki-laki miskin
5) Memastikan bahwa
layanan publik yang penting seperti kesehatan dan pendidikan manfaat perempuan
miskin, laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki secara adil
6) Mensosialisasi
ratifikasi, pelaksanaan, dan pelaporan internasional dan regional instrumen
perempuan seperti Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
7) Mengurangi kekerasan
berbasis gender
F. Penutup
Sesuai dengan
komitmen dan strategi yang telah ditawarkan UNDP maka dari itu dibutuhkan
sinergi dari setiap elemen politik yang ada. Misalnya partai politik yang harus
berkomitmen dalam
mewujudkan persamaan kesempatan bagi kader laki-laki dan perempuan untuk
menduduki posisi pengambilan keputusan dalam partai politik sesuai tingkatan
kepengurusan dan kesenjangan (gap) antara harapan gerakan perempuan dengan
kesiapan partai politik dan kader perempuan dalam partai politik dalam
meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik untuk sebuah suksesi 30%.
Mengingat pentingnya data dan informasi KPU
tentang keterwakilan perempuan pada kepengurusan Partai Politik, sehingga kita berharap agar KPU dapat dengan segera
mengumumkannya melalui media massa dan media informasi miliki KPU. Akhirnya, perbedaan
dan diskriminasi terhadap gender dapat di reduksi dalam usaha pemberdayaan
perempuan.
[1]
Peter Schoder, Strategi Politik, Jakarta : Frederich Nauman Stifing, 2004, hal.
15
[2] Jack
C. Plano, Robert E. Riggs dan Helenan S Robin, Kamus Analisa Politik, Jakarta :
CV. Rajawali, 1985, hal. 254.
[3]
Freddy Rangkuti, Analisis SWOT Membedah Kasus Bisnis, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, 1999. hlm 3-4.
[4]
Ismail Tarmizi, Strategi Kabupaten Solok Dalam Rangka Kembali ke Pemerintahan
Nagari menuju Otonomi desa Yang Demokratis (Kasus Kabupaten Solok Sumatera
Barat). Tesis Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Administrasi Publik
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2002, hlm 16.
[5]
Jhon M. Bryson, Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1999, hal. 12.
[6]
Ismail, Op. Cit., hal. 17.
[7]
Bryson, Op. Cit., hal. 28.
[8]
Sesuai dengan resolusi dewan keamanan PBB NO. 1325
[9]
Tuntutan Koalisi Perempuan
Indonesia untuk keadilan dan demokrasi.
[10]
Tuntutan United Nation Development Program (UNDP)