A. Pendahuluan
Media massa memiliki peran yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan sudah tidak diragukan lagi baik yang berdampak positif maupun negatif, walau kerap dipandang secara berbeda namun tidak ada yang menyangkal atas perannya yang signifikan dalam perubahan yang terjadi di masyarakat.
Media itu punya kekuatan, jauh melebihi kemampuan manusia. Akan kekuatan media sampai-sampai Napoleon Bonaparte pernah mengatakan , Jika media dibiarkan saja, saya tidak akan bisa berkuasa lebih dari tiga bulanan. Pendapat ini mendudukkan bahwa media dipandang sebagai kekuatan yang bisa mempengaruhi arah kebijakan dan ambisi Napoleon tersebut. Lebih dari itu, media massa menjadi satu-satunya indikator bisa langgengnya kekuasaan dirinya atau tidak.
Mengapa harus media? Sebab, meminjam istilah Marshall McLuhan , media adalah The Extension of Man (perluasan atau kepanjangtanganan manusia). Media itu lebih dari sekedar manusia. Jika manusia bisa bicara, media juga bisa melakukannya. Jika manusia mampu mempengaruhi orang lain, media lebih dari itu. Termasuk jika media kuat dalam menyebarkan pesan-pesan kepada publik, media lebih luas dari yang bisa dilakukan manusia.
The extension of man juga bisa diganti dengan kata-katanya the extension of politic (perluasan/ kepanjangtanganan politik). Bagi politisi dan kaum elit, media bisa dijadikan sarana untuk sosialisasi program. Artinya, di satu sisi di tangan medialah politik bisa besar dan dipersepsi baik oleh masyarakat, di sisi yang lain di tangan medialah citra politisi dan kaum elit di mata masyarakat bisa hancur.
B. Deskripsi Media Massa
Media massa, menurut Stuart Hall, pada dasarnya tidak mereproduksi makna itu sendiri, melainkan menentukan (to define ) realitas melalui pemakaian kata-kata yang terpilih. Lebih lanjut Hall mengatakan : “ Makna tidak secara sederhana bisa dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial (social struggle), sebuah perjuangan dalam memenangkan wacana. Maka itu pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan tempat memasukkan bahasa didalamnya. Manakala bahasa digunakan oleh media massa, maka sebetulnya ia memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena ketersebaran yang luas dalam menanamkan stereotip atau prasangka tertentu ( Hall, dalam Sobur, 2001:40) “.
Bagi Gramsci, media massa merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetensi. Antonio Gramsci melihat media sebagai sebuah ruang di mana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, jadi alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik Namun di sisi yang lain, media juga bisa jadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media massa bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
. Menurut Alex Sobur (2001), walaupun ada perbedaan pandangan mengenai media dari Gramsci, bahwa media massa bukanlah sesuatu yang bebas, independen tetapi media memiliki keterkaitan dengan realitas social. Artinya, dalam setiap teks yang dihasilkan media ada berbagai kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara. Dalam diri media massa juga ada kepentingan-kepentingan terselubung seperti kepentingan pemilik modal, kepentingan keberlangsungan lapangan kerja bagi para wartawan, karyawan dan sebagainya
Sementara, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakankegiatan jurnalistik, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun media elektronik,dan segala jenis saluran yang tersedia . Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai dipergunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media.
C. Tinjauan sejarah media massa di Indonesia
Untuk pertama kalinya bangsa kita berkenalan dengan dunia pers, ketika Belanda melalui Vereenigde Oost Indische Compagnie, (VOC) yang memulai penjajahannya di Tanah Air, dan sejak awal lahirnya, langsung berhubungan dengan kepentingan kepentingan politik. Upaya pertama untuk menerbitkan Surat kabar di Batavia (sekarang Jakarta) terjadi tahun 1712, tetapi pemerintah VOC melarangnya. Alasannya, pemerintah takut saingan VOC akan memperoleh keuntungan dari berita dagang yang dimuat koran itu. Ketika pemerintahan "liberal" berada di bawah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Von Imhoff, tahun 1744 terbit mingguan Bataviase Nouvelles di Jakarta.
Sekalipun Surat kabar Indonesia, Bromartini, sudah terbit tahun 1855, tetapi usaha menjadikan pers Indonesia sebagai alat perjuangan nasional terjadi setelah sejumlah organisasi politik tumbuh, seperti Boedi Oetomo(1908), indische Partij(1911) S arekat Islam (1912), Perhimpunan Indonesia (1922), Partai Komunis Indonesia (1926), dan Partai Nasional Indonesia (PNI). (Suryomihardjo, dalam Hamad 2004:61) Selain menjadi wadah para tokoh organisasi politik menyuarakan gagasan ¬gagasannya, saratnya muatan politis dari persurat kabaran Indonesia pada masa itu juga tampak dari nama nama yang disandangnya yang mencerminkan sikap perjuangan nasionalisme, seperti Suara Kemerdekaan, Suara Berjuang, Benih Kemerdekaan. Nama Kemadjuan Hindia dirubah menjadi Kemadjuan Indonesia. 13 Dari 107 Surat kabar dan majalah, yang terbit sekitar tahun 1920 corak Surat kabar atau majalah Indonesia digolongkan menjadi nasionalis, liberal, radikal, dan komunis, disamping ada yang bercorak netral, politik, dan sekedar dagang berita. Judul¬-juduinya pun menarik perhatian, banyak yang memakai kata "sinar", "Jong", "kebangoenan", "baroe", dan sebagainya".
Kekuasaan politik yang militeristik tak terhindarkan berimbas juga terhadap pers tatkala Balatentara Jepang menduduki Indonesia (1942 1945). Penguasa militer Jepang menempatkan shidooin (penasihat) di bagian redaksi dalam setiap surat kabar dengan tujuan untuk mengontrol media secara langsung.
Segera setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pemerintah pada tahun 1960 menetapkan 19 pasal peraturan mengenai penerbitan surat kabar. Ke 19 pasal itu secara keseluruhan bersifat kewajiban pers, untuk mendukung politik pemerintah. Pers pada masa Demokrasi Terpimpin (1959 1965), dijadikan alat politik oleh pemerintah otoriter ketika itu.
Pengaruh kekuatan politik terus membayangi pers Indonesia setelah Orde Lama tumbang dan dimulainya Orde Baru. Tonggak politis yang pertama dari penguasa Orde Baru mengenai pers adalah UU Pokok Pers No. 11/66 jo UU No. 4/1967. Pihak yang mengeluarkannya pun bukan Menteri Penerangan, tetapi Laksus Kopkamtib sebuah instrumen kekuasaan buatan Orde Baru. . Dengan adanya dua surat izin ini penguasa Orde Baru sangat mudah memantau pers. Aturan SIC baru dicabut 3 Mei 1977 dengan alasan stabilitas keamanan nasional telah mantap setelah mendapat banyak protes. Kontraversi lainnya adalah mengenai pembreidelan yang sejak jaman kolonial jaman kemerdekaan menjadi ciri utama campur tangan kekuasaan terhadap pers.
Dalam UU Pokok Pers itu dinyatakan: Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan (pasal 4), namun menyusul pecahnya Peristiwa Malari 1978 sekurang kurangnya telah dibreidel 7 (tujuh) Surat kabar ibu kota. Peristiwa 15 Januari 1978, merupakan tonggak pengokohan dari pelaksanaan kekuasaan melalui mekanisme Bureaucratic Polity oleh penguasa Orde Baru, yaitu pemusatan kekuasaan di tangan segelintir elite setelah menghabisi semua kekuatan politik saingan. Gurita kekuasaan dari kelompok elite pada masanya (1978 1998) ini sangat kuat dan menjangkau sernua sektor kehidupan tak terkecuali bidang komunikasi Kenyataan ini sejak peristiwa itu, penguasa Orde Baru dalam hal ini Soeharto relatif sendirian saja memerintah Indonesia, termasuk mengendalikan media massa, sampai ia dijatuhkan oleh Gerakan Reformasi tahun 1998.
Sejak kekuasaan orde baru runtuh, kehidupan pers Indonesia menampakkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Seiring adanya perubahan pola kekuasaan, pada awal pemerintahan Presiden B.J. Habibie melalui Mentri Penerangan, Yunus Yosfiah, yang telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 01 Tahun 1998 yang menyatakan mencabut Peraturan Mentri Nomor 01 tahun 1984. Dunia pers nasional dapat lebih bebas dalam menjalankan visi dan misinya, iklim keterbukaan yang diberikan oleh Pemerintahan Habibie melalui Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 tahun 1999.
Regulasi Pers yang baru, pada era reformasi telah membuat dinamika pers menjadi lebih bergairah. Dengan demikian, pers nasional memperoleh kebebasan melakukan pengumpulan berita (news gathering ), pengolahan berita (news editing ), dan penyajian bahan berita (news presenting ) serta kebebasan dari berbagai tekanan dan ancaman pihak luar saat melaksanakan fungsi jurnalistik. Seperti halnya legislatif yang secara nyata menjadi kekuatan demokrasi, institusi pers nasional juga kemudian muncul menjadi salah satu kekuatan baru yang lebih nyata dalam tatatanan infrastruktur perpolitikan nasional maupun dalam kehidupan masyarakat di semua tingkatan.
Namun demikian, adanya kebebasan pers ini belum secara langsung meningkatkan pelaksanaan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan hiburan. Bahkan peningkatan kualitas penerbitan dan pertambahan jumlah penerbitan pers justru cenderung mendorong terjadinya penyajian informasi yang rancu dan membingungkan masyarakat.
D. media massa adalah subsistem dari sistem politik
Menurut Gurevitch dan Blumer fungsi-fungsi media massa adalah:
1. Sebagai pengamat lingkungan dari kondisi sosial politik yang ada. Media massa berfungsi sebagai alat kontrol sosial politik yang dapat memberikan berbagai informasi mengenai penyimpangan sosial itu sendiri, yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah, swasta, maupun oleh pihak masyarakat. Contoh penyimpangan penyimpangan seperti praktik KKN oleh pemerintah, penjualan pasir ke Singapura yang mengakibatkan tujuh pulau hilang dan tenggelam (suatu kerugian yang lebih besar dari sekadar perebutan pulau Sipadan dan Ligitan
2. Sebagai pembentuk agenda (agenda setting) yang penting dalam isi pemberitaannya. Pembentukan opini dengan cara pembentukan agenda atau pengkondisian politik sehingga masyarakat terpengaruh untuk mengikuti dan mendukung rencana-rencana pemerintah. Contohnya: wacana pembatasan subsidi BBM
3. Media massa merupakan platform (batasan) dari mereka yang punya advokasi dengan bukti-bukti yang jelas bagi para politisi, jurubicara, dan kelompok kepentingan.
4. Media massa mampu menjadi tempat berdialog tentang perbedaan pandangan yang ada dalam masyarakat atau diantara pemegang kekuasaan .Media massa sebagai sarana untuk menampung berbagai pendapat, pandangan, dan paradigma dari masyarakat yang ingin ikut andil dalam membangun sistem politik yang lebih baik.
5. Media massa merupakan bagian dari mekanisme penguasa untuk mempertahankan kedudukannya melalui keterangan-keterangan yang diungkapkan dalam media massa. Hal ini kerap terjadi pada masa Orba, ketika masa Presiden Soeharto berkuasa yang selalu menyampaikan keberhasilan-keberhasilan dengan maksud agar masyarakat mengetahui bahwa pemerintahan tersebut harus dipertahankan apabila ingin mengalami kemajuan yang berkesinambungan.
6. Media massa bisa merupakan insentif untuk publik tentang bagaimana belajar, memilih, dan menjadi terlibat daripada ikut campur dalam proses politik.
Keikutsertaan masyarakat dalam menentukan kebijakan politik bisa disampaikan melalui media massa dengan partisipasi dalam poling jajak pendapat dan dialog interaktif. Hasil dari poling atau jajak pendapat tersebut akan merefleksikan arah kebijakan para politisi. Seperti hasil poling akhir-akhir ini dinyatakan bahwa sebagian besar masyarakat pemilih pada pemilu 2009, mengharapkan pemerintah hasil Pemilu dapat memprioritaskan perbaikan ekonomi. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang memilih untuk prioritas pemberantasan korupsi
7. Media massa bisa menjadi penentang utama terhadap semua upaya dari kekuatan-kekuatan yang datang dari luar media massa dan menyusup ke dalam kebebasannya,integritasnya, dan kemampuannya di dalam melayani masyarakat.
Fakta-fakta kebenaran yang diungkapkan oleh media massa dapat menyadarkan masyarakat tentang adanya kekuatan-kekuatan berupa terorisme atau premanisme, maupun intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang mencoba mengkaburkan suatu permasalahan.
8. Media massa punya rasa hormat kepada anggota khalayak masyarakat, sebagai kelompok yang punya potensi untuk peduli dan membuat sesuatu menjadi masuk akal dari lingkungan politiknya. Adanya kecenderungan dalam menilai para politisi, komunikator politik, aktivis adalah sebagai pihak yang selalu bicara dengan publik. Oleh karena itu Bryce (1900) menyatakan bahwa khalayak komunikasi (khususnya dalam komunikasi politik) pada umumnya akan terpusat pada masalah opini publik. Dari gambaran di atas mengenai fungsi media massa dalam kaitannya sebagai alat politik, maka semakin jelas bahwa peran media massa sangat besar dalam kekuasaan pemerintahan. Pendapat ini juga dipertegas dengan pernyataan Harold Lasswell, bahwa Politik tidak bisa dipisahkan dari pengertian kekuasaan dan manipulasi yang dilakukan oleh para elit penguasa atau counter elite.
E. Kesimpulan
Media massa dan politik? Peran media tidak hanya sebagai penyalur informasi Atas peristiwa politik yang terjadi tapi juga mempunyai Potensi untuk membangun opini public…
Literasi media akan membangkitkan kesadaran pada diri khalayak bahwa media tidaklah menyampaikan segala sesuatu apa adanya. Melainkan disampaikan dengan mengikuti hukum-hukum yang berlaku dalam dunia media massa. Media Massa melakukan mediasi atas realitas sehingga realitas bukan saja lebih menarik tapi juga lebih indah atau lebih dramatis dari realitas yang sesungguhnya. Itulah representasi yang dilakukan media massa, yang prosesnya sangat banyak dipengaruhi kepentingan ideologis, kekuasaan politik atau ekonomi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa adalah nyawakehidupan media massa.hanya melalui bahasa para pekerja media bias menghadirkan hasil reportasenya kepada public. Para peneliti berpendapat terdapat tiga tindakan yang biasa dilakukan media, khususnya oleh para komunikator massa, tatkala melakukan konstruksi realitas social yang berujung pada pembentukan citra sebukekuatan politik. Ketiganya adalah pemilihan symbol (fungsi bahasa), pemilihan fakta yang akan disjikan (strategi framing), dan kesediaan member tempat (agenda setting).
Pertama, dalam pilihan kata (symbol) politik. Sekalipun hanya bersifat melaporkan, tapi menjadi sifat dari pembicaraan politik untuk selalu memperhitungkan symbol politik. Dalam komunikasi politik, para komunikator bertukar citra-citra atau makna-makna melalui lambing politik. Mereka saling menginterpretasikan pesan-pesan politik yang diterimanya. Apapun symbol yang akan dipilih akan mempengaruhi makna yang muncul.
Kedua, dalam melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik. Setidaknya oleh alasan teknis keterbatasan kolom (ruang) dan durasi (waktu). Jarang ada media yang mengemas sebuah peristiwa secara utuh. Atas nama kaidah jurnalistik, media massa menyederhanakan peristiwa melalui mekanisme pembungkaian fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak terbit. Untuk kepentingan pemberitaan tersebut, sering kali media massa hanya menyoroti hal-hal yang dianggap penting saja. Pembuatan frame itu sendiri didasarkan ataas berbagai kepentingan internal maupun eksternal media, baik teknis, ekonomis, politis,ataupun ideologis.
Ketiga, adalah menyediakan ruang atau waktu untuk peristiwa politik (fungsi agenda setting). Justru hanya jika media massa member ruang pada sebuah peristiwa politik, maka peristiwa politik akan memperoleh perhatian oleh masyarakat. Semakin besar tempat yag diberikan semakin besar pula perhatian yang diberikan khalayak. Pada konteks ini, media mempunyai fungsi agenda setter. Bila satu media menaruh sebuah peristiwa sebagai head-line pasti peristiwa tersebut memperoleh perhatian yang besar dari public. Faktanya, konsumen media jarang memperbincangkan kasus yang tidak dimuat oleh media, yang boleh jadi kasus itu justru sangat penting untuk diketahui masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar