Kamis, 09 Agustus 2012

Tadinya aku mengira...


Cinta adalah saat aku menangis dan seseorang memelukku dan menghapus air mataku.

Cinta adalah saat aku berbuat salah dan seseorang memberitahuku apa yang benar.


Cinta adalah saat aku jatuh dan seseorang membantuku berdiri serta mengeringkan lukaku.

Cinta adalah saat aku minta maaf dan seseorang memaafkan dengan tulus tanpa sindiran.

Namun ternyata cinta tidak demikian...

Cinta ternyata adalah saat aku menangis dan seseorang jadi merasa kesal sambil menunggu tangisku reda sendiri.

Kesal melihatku menangis karena dia tidak pernah suka melihatku bersedih. Yang dia inginkan hanyalah membuatku merasa bahagia.

Cinta ternyata adalah saat aku berbuat salah dan seseorang marah-marah lalu membiarkan aku mencari tau sendiri apa yang benar.

Marah-marah karena dia merasa telah gagal menjagaku untuk tidak lagi melakukan kesalahan yang sama, dan akhirnya dia membiarkanku mencari tau sendiri apa yang benar karena mungkin dengan cara demikian barulah aku menyadari kesalahanku dan tidak lagi mengulangi kebodohan yang sama.

Cinta ternyata adalah saat aku jatuh dan seseorang menertawakan aku serta membiarkan lukaku kering sendiri.

Membiarkan lukaku kering sendiri karena dia ingin agar tubuhku terlatih lebih kuat dan sistem pertahanan tubuhku meningkat sehingga tidak lagi mudah jatuh dan luka berikutnya akan lebih cepat kering.

Cinta ternyata adalah saat aku minta maaf serta butuh dukungan dan seseorang terus menyindir kekeliruanku.

Mengingatkan, lebih tepatnya,bukan menyindir. Karena dia ingin mengingatkan aku bahwa aku sudah pernah salah langkah dan agar aku tidak lagi mengulangi kesalahan itu. Sebab kadang aku memang lupa bahwa aku pernah terjatuh.

Aku mungkin tidak paham mengapa kadang cinta itu menyakitkan, namun aku mengerti bahwa setiap hal pasti memiliki dua sisi pandang yang berbeda.

Dan tugasku kini adalah mencoba melihat dari sisi yang satunya lagi tanpa lebih dulu menghakimi.

Dan memang, nyatanya apa yang terlihat menyakitkan, rupanya menyimpan makna yang lebih besar di baliknya.

Aku hanya belajar untuk mengerti dan memahami, sekali lagi, tanpa lebih dulu menghakimi.

Kamis, 02 Agustus 2012

Lady Gaga dan sudut pandang Nasionalisme


Suatu kehebohan temporer kembali terjadi dinegeri ini, perihal konser Lady Gaga yang dimana isu beredar konser tersebut belum mengantongi ijin kepolisian padahal penjualan tiket sudah dilakukan jauh-jauh hari. Begitu hangatnya, para kritikus pemerintah pastilah mengatakan bahwa ini adalah pengalihan isu dibulan Mei yang penuh dengan tanggal bersejarah. Namun terlepas dari itu, kedatangan sang Mother Monsters (Julukan Lady Gaga) telah menyita opini publik, dan hampir setiap berita memuat hal ini. Ada yang pro dan kontra perihal kedatangannya ke tanah air. Jawaban normatifnya pastilah pro dan kontra itu menjadi suatu ciri khas demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Bagi yang kontra, semuanya angkat bicara atas dasar moral, agama dan sekonyol-konyolnya adalah simbol-simbol satanistik yang dibawa oleh Lady Gaga, atau yang seekstrem-ekstemnya berpendapat wujud dari pengrusakan generasi muda bangsa karena penampilan Lady Gaga yang terkesan vulgar. Bagi yang Pro bisa saja bicara atas dasar kebebasan, seni dan ekspresi. Apapun itu alasannya, bangsa kita harus berani mengulangi dan mengamalkan ikrar-ikrar persatuan dan kekerasan bukanlah jawaban dari sebuah radikalisme pemikiran.

Sadarlah, Indonesia lahan subur musikonomic dunia
Dengan semakin baiknya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diatas 5% serta inflasi yang cenderung stabil diangka 6-9%. Tidak dipungkiri bahwa bertambahnya kelas menengah yang ditandai dengan daya beli masyarakat yang terbilang cukup tinggi membuat negeri ini menjadi lahan subur bagi podusen-produsen. Pola konsumerisme ini terlihat dari apa yang kita beli dan apa yang kita gunakan dalam keseharian tanpa mempertimbangkan nilai guna barang. Jadi tidaklah mencengangkan bagi kita melihat harga tiket konser artis atau musisi internasional ratusan ribu hingga jutaan rupiah habis terjual.

Secara Umum, musik adalah bagian seni, yang pastinya membawa unsur-unsur estetika atau keindahan. Namun apakah kita tidak mengetahui bahwa musik juga merupakan instrumen kecil dari pendapatan nasional? Sebagai buktinya adalah negeri gingseng, Korea Selatan. Hanya dengan menyusung boy-band dan girl-band serta instumen musik beralun techo dan disko atau yang biasa yang disebut masyarakat dunia sebagai Korean Wave, Negara Tae-kondow ini mampu menambah devisanya sebesar puluhan triliun rupiah. Padahal kita sama mengatuhi bahwa yang mereka nyanyikan-pun dominan menggunakan bahasa korea, namun mereka tetap sukses. 

Secara kultur masyarakat kekinian, terutama masyarakat perkotaan, dapat dikatakan juga masyarakat yang cukup fanatik akan suatu hal. Tidak hanya musik tapi juga sepak bola, klub motor, kegiatan organisasi dan lain-lain. Sehingga ruang-ruang fanatisme ini, ditambah tidak adanya sekat-sekat informasi menjadikan bangsa kita sebagai lahan meraup untung yang basah. Suatu hal menggembirakan bila arus perputaran uang pasar input dan pasar output bersifat domestik dan yang diuntungkan adalah bangsa ini juga, namun bila yang diuntungkan adalah pihak asing bagaimana dengan fanatisme nasional kita?

Perhitungan ekonomis untuk National Interest
Dalam kurun dua bulan terakhir saja, telah banyak berdatangan musisi-musisi internasional ke Indonesia. Harga tiket yang cukup fantastis serta antrean panjang yang melelahkan menjadi tontonan kita nyaris setiap minggu, hingga melakukan show berhari-hari. Dengan demikian memang ada baiknya bagi suhu pariwisata kita.

Jika kita melihat saja dari komparasi living cost antara Jakarta dengan Singapura dan Kuala Lumpur lebih murah dinegeri ini, jadi tidaklah heran bila tendensi akan adanya peningkatan jumlah kedatangan tamu mancanegara secara umum untuk berwisata dapat meningkat dan secara khusus bagi peminat musik. Apalagi bila artis atau musisi yang datang adalah sang Mother Monster, Lady Gaga. Data yang lain juga menyebutkan bahwa harga tiket konser di negeri ini juga terbilang murah. Untuk kasus Lady Gaga ini saja bila kita bandingkan antara Bangkok dengan Jakarta memiliki selisih harga sekitar lebih dari 70%; di Bangkok harga tiket termurah berkisar Rp. 400.000-an dan di Jakarta harga tiket termurah sekitar Rp.200.000-an. Hal inilah yang semestinya menjadi suatu keuntungan akan naiknya suhu pariwisata kita.

Sehingga perlu diingat bahwa musisi atau artis internasional itu mendapatkan keuntungan dari apa yang kita tonton dan kita beli pada setiap penampilannya. Misalnya, bila harga tiket konser artis atau musisi internasional sebesar 250ribu rupiah dengan perkiraan penonton sebanyak 10ribu orang maka berapa persen yang didapatkan artis?, Berapa persen yang didapatkan promotor?, dan berapa persen yang didapatkan Negara?. Regulasi yang mengatur akan hal ini juga tidak ada, seharusnyalah tangan-tangan kekuasaan Negara harus ikut campur dalam masalah ini. Terlebih pula, bila ada distorsi sosial jika yang datang adalah sang artis yang kontroversial sepeti Lady Gaga yang sedikit banyak-nya juga menimbulkan konflik pro dan kontra.

Menurut Adi Soebono, seorang promotor kawakan Indonesia mengatakan bahwa dalam melaksanakan sebuah konser harus diperhatikan juga dengan lokasi dimana akan diadakan konser itu. Biasanya dalam pengukuran lokasi konser, 1X1 meter diperuntukan untuk 5 orang. Hal ini berkaitan juga dengan siapa dan artis atau musisi apa yang akan tampil dan seberapa besar animo masyarakat, sehingga kita dapat memastikan berapa banyak massa yang akan berkumpul. Untuk konser Lady Gaga, menurut info yang beredar akan diadakan di Stadion Gelora Bung Karno. Dapat digambarkan betapa megahnya konser tersebut, dan berapa jumlah uang yang mengalir.

Pemerintah dalam hal ini butuh melihat lagi perhitungan ekonomis yang didapatkan dari situasi ini. Dengan konsep simbiosis mutualisme, bila artis dan musisi internasional beranggapan bahwa negeri kita menjadi lahan subur bagi pendapatan mereka, maka kita juga harus berfikir yang sama bahwa pendapat bagi Negara akan kedatangan artis dan musisi internasional itu. Sinergisitas antara State, Private dan Civil Society butuh penanganan yang berkesinambungan perihal ekonomi politik terutama pada aspek yang tak pernah terpikirkan seperti musik. Seperti halnya dibebankan kepada artis dan musisi intenasional tersebut mengunjungi tempat-tempat wisata nusantara serta perbelanjaan, sehingga nantinya mampu memberikan perputaran uang dimasyarakat. Bahasa mudahnya adalah, Artis atau Musisi Internasional itu mendapatkan uang dinegeri ini, maka dianjurkan untuk dihabiskan pula di negeri ini. Meskipun terdengar utopis, namun bila kita mampu mengaplikasikannya apalagi bila ter-blow up oleh media, maka akan memberikan efek domino yang menggairahkan.

Namun, regulasi ini nantinya juga harus mampu memfilter pengaruh-pengaruh yang akan menjajah kedaulatan Negara dari segi kebudayaan. Karena apapun itu Negara kita yang kaya akan budaya dan berbudaya ini juga suatu hari nanti harus melakukan ekspansi internasional dan meraup keuntungan pula dari Negara lain. Hal utama yang harus kita lakukan adalah revolusi budaya secara massal, kembali lagi kepada budaya yang telah kita miliki untuk dikembangkan dan bukan hanya untuk dipertahankan semata. Dikembangkan dengan artian tidak melakukan asimilasi budaya tersebut, namun diakulturasi sedemikian rupa dan diintegrasikan sesuai dengan zamannya demi ketahanan budaya nasional dan didedikasikan untuk bangsa serta apresiasi bagi pelakunya.

Sayangnya pemerintah, profesional, akademisi ataupun masyarakat awam seperti kita tidak militant untuk melakukan itu. Sudah selayaknya kita mencontoh penyebaran budaya ala Korea Selatan yang dapat menguntungkan negaranya. Saatnya kita menyiapkan blue print perihal budaya kita yang akan kita sebar-luaskan dan komersilkan. Marilah bersama-sama kita berfikir dan berjuang akan hal ini. Hingga nantinya kita bangga sehebat-hebatnya akan karya-karya yang kita miliki.