Kamis, 31 Maret 2011

Kesesatan dalam menafsirkan otonomi daerah

Otonomi daerah diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan kebijakan nasional yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional. Otonomi daerah juga merupakan sarana kebijakan politik dalam rangka memelihara keutuhan NKRI. Karena itu, dengan otonomi akan kembali memperkuat ikatan semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan diantara segenap warga bangsa.

Otonomi daerah adalah sebuah proses dalam mengembalikan harkat dan martabat masyarakat daerah dan memberikan peluang pendidikan politikdalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah. Dalam ilmu administrasi Negara, otonomi daerah juga dapat menjadi suatu alat peningkatan efisiensi pelayanan publik didaerah dan peningkatan percepatan pembangunan daerah. Sehingga kita dapat meyakini bahwa nantinya seluruh proses ini akan mencipatakan pula cara berpemerintahan yang baik atau good governance.

Namun, implementasi kebijakan bukanlah suatu yang kederhana untuk dieksekusi. Karena implementasi kebijakan menyangkut interpretasi, organisasi dan dukungan sumber daya yang ada. Karena itulah muncul kesalahpahaman dari kebijakan otonomi daerah. Kesalahpahaman ini muncul dari berbagai kalangan, apakah itu akademisi, politisi ataupun masyarakat karena terbatasnya pemahaman umum perihal otonomi daerah ataupun argumentasi-argumentasi yang diajukan lebih merupakan argumentasi politik ketimbang argumentasi keilmuan.

Misunderstanding
Berikut beberapa kesalahanpahaman yang berkembang dimasyarakat. Pertama, otonomi dikaitkan semata-mata karena uang. Pemahaman yang ada dalam masyarakat adalah otonomi harus mencukupi segala kebutuhannya sendiri, terutama dalam bidang keuangan. Sehingga daerah terkesan belum siap dan belum mampu. UU NO.32 tahun 2004 belum diikuti dengan pelimpahan kewenangan dalam mencari uang dan subsidi dari pemerintah pusat. Alhasil, pemerintah daerah “harus mampu” menggunakan uang dengan bijaksana, tepat guna dan beorientasi kepada kepentingan masyarakat. Namun, efek negatifnya adalah maraknya manipulasi pajak atau pungutan. Seperti retribusi angkot dikota padang dan tidak memberikan pelayanan terhadap masyarakat pengguna jasa transportasi, hingga wacana pelegalan Minuman Keras (miras) yang semata-mata guna menambah pendapatan asli daerah saja.

Kedua, dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan membina daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Asaz Dekonsentrsi merupakan pengikat dalam otonomi daerah antara pusat dan daerahnya. Pusat tetap memberikan bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintahan kepada personil yang ada didaerah, ataupun dukungan keuangan. Hal yang terpenting adalah kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup berupa Dana Alokasi Umum, Khusus atau bantuan keuangan lainnya yang sangat berguna bila terjadi bencana alam yang sangat mengganggu roda perekonomian daerah.

Ketiga, dengan otonomi dapat melakukan apa saja. Hakikat dari otonomi daerah adalah agar daerah mampu menjalankan pemerintahan yang kreatif dan inovatif dalam rangka memperkuat NKRI, dengan berlandaskan norma kepatutan dan kewajaran dalam rangka tata kehidupan bernegara. Disamping itu kepentingan masyarakat haruslah menjadi patokan utama dalam formulasi kebijakan dan bukan sebaliknya, pemerintah daerah mengabaikan berbagai aturan dan norma yang berlaku dalam setiap kebijakannya atau bahkan tidak mengindahkan aspirasi masyarakat.

Keempat, otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil didaerah dan memindahkan korupsi di daerah. Pendapat seperti ini dapat dibenarkan bila penyelenggara daerah, masyarakat dan dunia usaha menempatkan diri dalam kerangka sistem politik gaya lama yakni korupsi, kolusi dan nepotisme serta penyalahgunaan lainnya. Bahkan menurut cacatan dari Indonesia Corruption Wacth (ICW) dari tahun 2005-2008 bahwa dari 1421 terdakwa yang terpantau, ternyata lebih dari 700 terdakwa yang diproses merupakan kader-kader partai politik, baik yang duduk di DPR, DPRD ataupun pemerintahan daerah. Khusus di Sumatera Barat, terjadi sedikitnya 49 kasus korupsi yang melibatkan DPRD sebanyak 11 kasus dan 38 kalangan non legislatif, termasuk pemerintah. Jumlah pelaku sebanyak 276 orang dan kasus korupsi di Sumatera Barat telah merugikan keuangan Negara mencapai Rp. 91,65 miliar.

Oleh karena itu, untuk menghindari pandangan tersebut serta menciptakan langkah-langkah pencegahan (preventively steping), pilar-pilar kekuatan politik dan pengutan demokrasi pada tingkat daerah haruslah memainkan perannya secara optimal. Pilar-pilar kekuatan madani itu seperti partai politik, media massa, mahasiswa, KPK, komisi ombudsman termasuk LSM control (corruption watch, parliament watch, court watch, police watch), dan lain-lain.

Dilema Gubernur tentang Pelarangan Ahmadiyah
Pada UU no.32 tahun 2004, diterjemahkan secara implisit bahwa seluruh perangkat daerah dan kepala daerah memiliki kewenangan dan otoritas dalam bertindak. Namun tidak dapat mencampuri enam urusan pemerintah pusat, yakni keamanan, pertahanan, politik luar negeri, yustisi, moneter dan agama. Kemudian secara nilai struktural, gubernur adalah perpajang tangan dari pusat kedaerah, terutama provinsi, yang artinya adalah gubernur juga merupakan bagian dari pemerintah pusat dibawah komando presiden dan koordinasi dengan menteri dalam negeri.

Perihal kasus fenomena Jamaah Ahmaddiyah yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan. Dua Gubernur, yakni gubernur jawa timur dengan gubernur jawa barat. Gebernur Jawa Timur, Soekarwo, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 188/94/KPTS/013/2011 tentang Pelarangan Aktivitas Jamaah Ahmaddiyah di Jawa Timur. Sementara, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 12/2011 tentang Larangan Aktivitas Jemaah Ahmadiyah. Dari dua kebijakan tersebut, kemudian diikuti oleh pemerintahan kota dan kabupaten di provinsi masing-masing.

Semua peraturan dan surat keputusan diatas adalah sebuah kebijakan pemerintah daerah untuk menstabilkan keadaan sosial-politik dimasyarakat. Dasar dari kebijakan tersebut adalah SKB 3 Menteri tahun 2008, dan maraknya aksi penuntutan masyarakat lokal dalam mengecam aktivitas dan “pelecehan agama” dari Ahmadiyah tersebut.

Yang menjadi hal yang dilematis adalah posisi Gubernur dalam mengeluarkan surat keputusan tersebut. Di lain sisi, gubernur adalah bagian dari pemerintah pusat yang mendaptkan legitimasi dari rakyat melalui pemilihan kepala daerah langsung, sehingga Gubernur dapat melakukan salah satu poin dari enam deskripsi kerja pemerintah pusat. Di lain sisi, pemerintah daerah adalah kepala daerah yang tidak diperbolehkan mengurus eman poin larangan (six deadly point). Sepertinya menjadi sseorang kepala daerah secra tidak langsung telah memakan buah simalakama. Sikua capang, sikua capeh. Saikua tabang, saikua lapeh. Hal ini menunjukan bahwa ada yang saling tipang tinpang tindih antara hukum tata negara dengan etika politik yang ada.

Sebenarnya agar tidak berlarut-larut pemerintah pusat haruslah bersikap tegas menangani fenomena Jamaah Ahmadiyah. Sehingga tidak menunculkan dilematis dan posisi kepala daerah juga berjalan sesuai dengan peraturan dan Undang-undang yang telah ada.

Minggu, 06 Maret 2011

Pemerintahan Nagari VS Polis Yunani

Pada hakikatnya pemerintahan merupakan suatu gambaran perubahan social tentang bagaimana pad permulaan pemerintahan setelah terbentuk dan bagaimana pemerintahan itu telah berkembang. Perkembangan pemerintahan itu juga ditentukan oleh perkembangan masyarakatnya yang disebabkan faktor-faktor lain yang menlandasi seperti pertambahan dan tekanan penduduk, ancaman atau perang dan penjarahan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat yang lain dan telah menjadi faktor-faktor yang memacu perkembangan pemerintahn yaitu penguasaan oleh suatu pemerintah atau Negara.
Plato dan Aristoteles lah yang memperkenalkan bentuk-bentuk pemerintahan yang baik dan buruk. Konsep-konsep tentang pemerntahan yang baik dan buruk menurut Plato dan Aristoteles masih terefleksi sepanjang sejarah pemerintahan di dunia hingga dewasa ini. Awal pemerintahan Romawi merupakan suatu wujud dari kombinasi bentuk pemerintahan baik menurut konsep Plato dan Aristoteles.
Pemerintah dizaman sebelum masehi ditandai oleh banyaknya system pemerintahan dan system yang lebih dikenal adalah Polis Yunani. Menurut Syuir Syam, Polis bertujuan menjamin kehidupan yang baik bagi warga negaranya dan polis itu dipertahankan demi kehidupan yang baik pula. Di Yunani pula, mulai timbul bentuk negara demokrasi langsung. Dan karena telah melahirkan struktur negara yang baik maka ilmu politik pada zaman Yunani Kuno dianggap sebagai the master science. Polis Yunani memiliki sebuah sifat khas, yaitu totaliter. Totaliter memiliki arti bahwa polis merupakan suatu struktur yang meliputi negara dan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan. Suatu hal yang ironis, dimana demokratis dapat dikawinkan dengan sistem totaliter.
Masing-masing polis Yunani, memiliki kharakteristik yang berbeda, seperti Athena dan Sparta. Athena merupakan polis yang menetapkan sistem demokrasi. Sistem itu diperkenalkan oleh Solon dengan system kekuasaan berada ditangan dewan rakyat. Pelaksanaan pemerintahan dilakukan oleh Sembilan orang Acrchon yang setiap tahun diganti. Para Archon diawasi oleh Aeropagus (Mahkamah Agung) yang para anggotanya berasal dari mantn anggota Archon.
Pemerintahan Spartha didasari oleh pemerintahan yang bergaya militeristik. Pola ini diperkenalkan oleh Lycurgus tahun 625 SM. Pemerintahan dipegang oleh dua orang raja, sementara pelaksana tertinggi dipegang oleh suatu dewan yang bernama Ephor yang terdiri dari lima orang. Setiap Ehpor memiliki dewan tua yang berusia lebih dari 60 tahun, yang bertugas untuk mempersiapkan Undang-undang yang diajukan kepada dewan rakyat (perwakilan dari semua warga kota). Sebagai polis bergaya militeristik, para pemuda yang terseleksi secara fisik dan mental dijadikan tentara.
Keberadaan polis-polis Yunani mengakibatkan mereka saling bersaing dalam memperebutkan hegemoni kekuasaan atas wilayah Yunani. Sehingga tidaklah mengherankan apabila di Yunani selalu terjadi peperangan diantara sesama polis-polis tersebut yang dapat merugikan korban jiwa, harta dan benda. Berbeda dengan sistem pemerintahan nagari yang ada di suku bangsa Minangkabau, Sumatera Barat-Indonesia.
Nagari merupakan daerah otonom dalam lingkungan konfederasi masyarakat Minangkabau yang berhak mengurus dirinya sendiri. Kedudukan otonomi yang penuh sebagai republik desa dibawah pimpinan pangulu yang diorganisir dalam kerapatan adat nagari, yang jalankan pengurusan berdasarkan kata musyawarah dan munfakat. Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek munfakaik. Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang. Lamak dek awak katuju dek urang.
Sebelum datangnya pengaruh dari barat, terutama dari kolonialisme belanda, Lembaga kerapatan adat nagari inilah yang merupakan struktur tertinggi dalam nagari, sebelum adanya wali nagari yang pada awalnya adalah perpanjangan tangan bagi kekuasaan belanda di Indonesia. Kerapatan adat nagari (KAN) merupakan institusi rapat yang dihadiri oleh para pengulu suku yang sudah batagak gala dalam nagari dan utusan dari utusan jorong (kampung) masing-masing. Artinya, pemerintahan nagari memiliki sistem keterwakilan yang tidak kompleks dan memiliki legitimasi yang jelas dari kaum dan jorong yang ada dalam nagari.
Menurut Sri Zul Chairiyah, pemerintahan nagari memiliki stabilitas-dinamis yang dapat berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Bila kita sinkronkan dengan teori pemerintahan baik-buruk dari Plato dan Aristoteles, maka pemerintahan yang baik bukanlah Monarki seperti romawi, namun berbentuk Aristokrasi yang dimana kekusaan Nagari dipegang oleh kerapatan adat yang beranggotakan pangulu, alim ulama dan cerdik pandai. Dan di masa penjajahan ditambah satu struktur baru yang disebut wali nagari, dilandasi dengan UU Inlandsche Gemeenten, pasal 128 Indische Staatsregeling.
Nagari mengungguli Polis
Ada beberapa faktor yang menjadi keunggulan nagari dibanding polis yunani. Pertama adalah syarat-syarat berdirinya nagari yang rumit. Sebuah nagari menurut A.A Navis, harus memenuhi lima syarat, diantaranya adalah babalai bamusajik. Balai dapat berarti pasar dan tempat bermusyawarah (balairung), dan harus memiliki mesjid. Kemudian faktor inilah yang membuat seluruh masyarakat nagari hidup harmonis, saling berinteraksi dan saling mengenali satu sama lain. Sehingga tidak mengherankan bila ada yang mengklaim saudara, meskipun hanya satu kampung tanpa ada pertalian darah. Nagari yang berasal dari luar juga dapat berinteraksi melalui balai (madsudnya hari pasar nagari, yang diadakan sekali dalam seminggu)
Selanjutnya, basuku banagari. Artinya, setiap individu masyarakat harus memiliki kaum atau suku yang dimana jelas asal-usulnya. Sehingga keamanan dari dalam dapat dijaga. Kemudian dalam satu buah nagari minimal memiliki empat buah suku yang berbeda. Sehingga terjalin hubungan pluralisme yang juga mencerminkan demokrasi. Beberapa Suku-suku ini pun juga ada yang berasal dari luar Nagari, yang kemudian menciptakan keselarasan antar Nagari. Contohnya, suku Patapang yang ada di Nagari Rao-rao dan Nagari Gurun. Namun tiap suku dalam nagari wajib mempunyai pimpinan baik itu niniak mamak ataupun tungganai.
Kedua, nilai-nilai adat tentang musyawarah dn munfakat menjadi tolak ukur yang sangat menetukan dalam pemerintahan nagari. KAN yang terdiri dari beberapa golongan yang memiliki legitimasi keterwakilan seperti polis-polis Yunani dan dalam tiap kebijakannya bukanlah ditentukan dengan kekuatan politik yang ada, namun berdasarkan win-win solution atau biasa disebut lamak dek awak katuju dek urang.
Maka tidak mengherankan bahwa cara-cara kehidupan dan pemerintahan bernagari ini memuncalkan kehidupan yang gemmenshalft dan semi heterogen. Kehidupan nagari adalah awal demokrasi yang sesungguhnya, tnpa diawali dengan system monarki seperti polis-polis yang dipaparkan oleh Plato dan Aristoteles. Selain itu pemerintahan nagari dapat melahirkan kader-kader pejuang yang mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Seperti Muhammad Hatta, Sutan Syahrir dan Agus Salim dan lain-lain, yang sering bermusyarah dan bermunfakat dinagari yang akhirnya dikenal sebagai diplomat ulung yang disegani kawan dan lawan.

Selasa, 01 Maret 2011

REVIEW BOOK

DICKY ANDRIKA
08.10.832.049
ILMU POLITIK

Judul: State of Art Ilmu Politik dan Pemerintahan
Subtitle: The State of Art Ilmu Politik
Penulis: Ramlan Subakti
Editor: M. Mas’ud Said
Halaman: 143-154
Abstraksi yang dipaparkan oleh Ramlan pada tulisan ini, dengan jelas memaparkan bahwa Ilmu Politik Kontemporer yang mendasari subbidang kajian perbandingan politik. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan social politik yang terjadi hampir dibelahan dunia baik itu negar maju ataupun Negara ketiga. Semua literatur, sumber dan para ahli didominasi oleh Amerika serikat, dan kemudian dapat menjadi kiblat demokrasi dan kehidupan bertata Negara.
Perubahan yang saling siknifikan adalah dalam ilmu politik modern yang tidak lagi berpaku pada hal-hal yang diangap baik atau tidak lagi berpegang teguh kepada dalil-dalil yunani atau masa kelam sebelum reinesannse. Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa cara-cara lama tersebut terlalu dikungkung dengan nilai dan sering kali tidak ada sinkronisasi dengan fakta yang ada sehingga terjadinya pesimistis dalam kajian ilmu politik.
Namun, munculah teori politik kontemporer yang dimana dapat membuat ilmu politik berkembang secara fleksibel dan dipengaruhi oleh kajian-kajian dialetis dari teori klasik dan modern. Dengan demikian teori kontemporer dalam ilmu politik ini dapat memisahkan fakta dengan nilai, akademis dengan yang praktis, moralitas dengan ilmu, cara dan tujuan, kebijaksanaan dengan etika, pengamat dengan aktor politik, serta hak dan kewajiban dalam bernegara.
Filsafat Politik VS Ilmu Politik
Karakteristik pertama dari teori kontemporer adalah kajian yang berangkat dari asumsi mengenai determinasi dan hukum kausasi universal atau biasa disebut dengan hubungan sebab dan akibat. Kedua membedakan fakta empiric dan nilai. Ketiga tujuan ilmu politik ialah membangun teori dengan menggeneralisasikan hubungan kausal diantara pengetahuan, sehingga teori mejadi pisau bedah fenomena dan sebagai landasan forecasting social-politik kedepannya. Keempat, membuat perbedan logik antara ilmuwan dan mempelajari sikap dan pendapat yang didasari oleh nilai-nilai tertentu. Kelima, memberikan pertimbangan yang instrumental.
Berbeda dengan kharakteristik politik klasik. Pertama, kjiannya bersifat normative dan prespektif. Kedua, ilmu politik klasik memandang fakta dan nilai adalah suatu yang entitasnya erat. Ketiga, politik klasik menegaskan bahwa pentingnya membedakan hal-hal politik dan non-politik, kemudian pemecahan masalah secara dialetis. Keempat, pengetahuan akal sehat akan menuju pengetahuan yng ilmiah. Kelima adalah ilmu politik klasik memandang Negara sebagai alat untuk menciptakan kondisi kebahagiaan, dan melindungi hak-hak alamiah manusia.
Kemudian yang dimadsud dengan point kelima diatas, menurut ilmu politik klasik ada tiga kondisi kebahagiaan yang harus dipenuhi: kehidupan (untuk berbahagia seseorng harus hidup), kebebasan (seseorang harus dapat bergerak secara leluasa) dan upaya mencapai kebahagian (seseorng harus berupaya mencapai kebahagian). Sedangkan bagi ilmu politik positivistic mengajukan rekomendasi berdasarkan means-ends analysis. Sementara itu ilmu politik modern mengkritik klasik sebagai terlalu memperhatikan dalil-dalil klasik sebagai suatu keharusan. Sebaliknya ilmu politik klasik menganggap ilmu politik modern tidak mengubah pertanyaan fundamental ilmu politik walaupun mereka telah menambah bukti dan argument untuk menjawab pertanyaan.
Menurut Strauss, dalam awal pertumbuhannya, ilmu politik modern terperangkap dalam bahaya menempatkan system politik barat sebagai karakter esensial. Kemuadian ilmu politik melakukan kajian yang bersifat lintas budaya untuk memahami budaya lain. Oleh karena itu ilmu politik modern berupaya memahami budaya lain sebagaimana masyarakat penganut budaya itu memahaminya (etnometodologi). Strauss menambahkan bahwa ilmu politik haruslah bersifat historic dalam aplikasinya sehingga bukti empiric dapat dilihat secara eksplisit. Cara historic ini jelas dapat menolak masyarakat impian secara permanen seperti menurut ilmu politik klasik. Karena budaya yang berbeda akan melahirkan rezim yang berbeda pula.
Menurut Ramlan Subakti, filsafat ilmu politik sendiri sebenarnya masih dapat dibagi dua yaitu klasik dan kontenporer. Machiavelli adalah tokoh filsafat politik temporer yang dimana telah memberikan alat ukur perihal best regime klasik yang abstrak dan utopis. Singkat kata yang dpat membedakan politik klasik dn kontemporer itu adalah tolak ukur rezim, artinya Machiavelli dapat menjadi jembatan antara filsafat politik dengan politik kontemporer.

Demokrasi menurut klasik dan positivistik
Hegemoni demokrasi semakin luas hamper dibelahan dunia. Hal ini bila kita melihat sejarah, pastinya kita dapat beramsumsi bahwa ini ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Negara Uni Soviet. Sehingga, demokrasi menjadi hal yang diangap baik dan menang dan selanjutnya diikuti oleh Negara-negara berkembang bahkan rakyat timur tengah. Baik itu diraih dengan konstitusional ataupun konvensional.
Menurut Samuel Huntington, ada tiga jenis pemahaman mengenai demokrasi sebagai bentuk pemerintahan: Pertama, sumber kewenangan bagi pemerintah. Kedua, tujuan-tujuan yang hendak dicapai pemerintah. Ketiga, prosedur-prosedur pembentukan pemerintah. Jenis pemahaman yang pertama dan kedua oleh ilmu politik kontemporer dianggap terlalu idel dan abstrak, sehingga tidak dapat diukur seacra akurat. Oleh sebab itu Huntington dalam bukunya tersebut menggunakan jenis yang ketiga, yang dimana lebih mengutamakan profit oriented.
Robert Dahl, yang melihat lemahnya partisipasi warga amerika serikat dalam demokrasi. Hal tersebut menimbulkan kepincangan dalam situasi politik nasional yang pada awalnya adalah berakar dari kepincangan ekonomi. Kemudian jalan keluar agar tumbuhnya partisipasi politik adalah penguatan dan kesinambungan antara politik dan ekonomi. Langkah yang dilakukan menurut Dahl adalah, demokratisasi di dalam perusahaan-perusahaan, seperti pemilikan saham dan keikutsertaan dalam pembuatan kebijakan.