Sabtu, 02 April 2022

PILKADA SERENTAK, ANCAMAN GEOPOLITIK

 

Pemilihan Umum Tahun 2024 sebaiknya ditunda, sepertinya banyak mendapatkan pertentangan dari masyarakat, terutama akademisi. Berkaca dari Pemilu 2019 yang dapat dibilang sukses dalam penyelenggaraan, praktis hal yang sama tidak menjadi hambatan untuk melaksanakan hal yang sama di tahun 2024. Lalu, bagaimana Pilkada Serentak 2024 yang pertama kali dilaksanakan setiap daerah Indonesia?

 

Perlu diketahui bahwa saat ini, penyelenggara pemilu mengajukan Rancangan Anggaran Pilkada kepada masing-masing Pemerintah Daerah. Sehingga secara matematika anggaran bisa dipersiapkan dari saat ini. Hal yang luput kita perhitungkan adalah bagaimana keamanan Negara pasca Pilkada. Hal ini menjadi penting untuk disimak, karena pada prinsipnya Pilkada adalah barometer konflik politik yang terkonsentrasi di daerah. Potensi ini akan kita lihat dari perspektif geo-politik.

 

Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan (LCS) adalah indikator pertama, dimana ketegangan ini muncul atas klaim Pemerintah Tiongkok tentang kepemilikan wilayah tersebut. Hampir seluruh anggota ASEAN yang terlibat langsung dalam ketegangan ini, ditambah dengan Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Indikator yang kedua adalah AUKUS. Pakta keamanan yang ditandatangani oleh Amerika Serikat, Inggris dan Australia menjadi ancaman bagi Tiongkok. Dimana ketiga Negara tersebut memiliki armada perang laut yang mutakhir yakni Kapal Selam bertenaga Nuklir.  Disisi lain, Prancis sangat dirugikan dengan sikap Australia yang membatalkan pembelian Alutsista dari Negara pemilik menara Eifel tersebut.

 

Dua indikator diatas sudah cukup menggambarkan, bagaimana posisi geografis Indonesia ditengah pusaran konflik. Ditambah lagi saat ini perang antara Rusia dan Ukraina masih berlanjut, maka bisa saja konflik ini makin melebar. Sementara itu, politik luar negeri Indonesia bermain bagaikan anak gadis yang gombal. Pemerintahan Jokowi, sangat telaten dalam memposisikan diri, tidak ikut serta untuk aktif dalam mendamaikan keadaan tersebut dan tidak pula lengah dengan segala keadaan. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah Alutsista pada Tahun Anggaran 2022 ini.

 

Segala kepungan pakta keamanan dan ketegangan yang terjadi di dunia hari ini, wajib disikapi dengan kesiagaan. Sulit kiranya saat ini Indonesia akan digempur oleh Negara-negara yang ada, karena kepentingan yang sangat besar di kawasan ini. Terlebih dengan jumlah populasi yang besar dan sejarah panjang perlawanan gerilya rakyat semesta, maka akan sia-sialah rasanya untuk menaklukan Indonesia dengan aksi-aksi Militer. Oleh karena itu, untuk menaklukan Negara ini, sebaiknya dilakukan dengan metode Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera yang bernama Pilkada Serentak Tahun 2024.

 

Prinsipnya, Pilkada sama dengan Pemilu. Dimana kita bisa membelah-belah potensi lumbung suara masyarakat berdasarkan sentimen sosiologis, namun dengan skala kedaerahan yang ada. Dalam kacamata marketing politik itu adalah hal yang jumrah; kajian segmentasi, targeting dan positioning akan menjadi wajar dilakukan oleh Pasangan Calon. Pembelahan itu dirasa aman bilamana terjadi hanya pada tingkatan elit. Masalahnya akan lebih tajam bila pembelahan ini justru terjadi di Masyarakat. Karena konsentrasi Pilkada ada di tiap-tiap daerah, maka potensi konflik juga akan tersebar. Pada poin inilah TNI/POLRI wajib untuk berperan aktif dalam menjaga keamanan dan kondusifitas.

 

Maka, teknis pengamanan dari TNI/POLRI haruslah didudukkan berbarengan dengan penyelenggara pemilu, yang saat ini sedang mengajukan Rancangan Anggaran Pilkada kepada masing-masing Pemerintah Daerah. Karena jumlah personil pengamanan yang terbatas dan tidak merata jumlahnya di tiap-tiap daerah, tentu akan menyulitkan. Indonesia yang sangat luas, pastinya akan sulit melakukan distribusi personil TNI/POLRI dalam pengamanan Pilkada. Jenderal-jenderal yang ada dipusat, wajib melakukan penyaringan dengan seksama daerah-daerah mana saja yang membutuhkan personil. Disamping itu, intelejen harus dengan seksama melakukan preventif, setiap gerakan-gerakan yang berpotensi menimbulkan konflik.

 

Bila dalam Pilpres kita bisa melihat bagaimana tekanan muncul di pusat. DKI Jakarta menjadi barometer dan seluruh kekuatan keamanan di daerah dikerahkan untuk mengamankan. Hal ini terjadi pada tahun 2019 yang lalu dimana aparat keamanan menjaga penuh di pusat. Namun dalam Pilkada justru akan berbeda, misalnya terjadi kerawanan di Aceh dan Papua saja praktis kekuatan TNI/POLRI akan terbelah menjadi dua dengan jarak yang jauh. Belum lagi apabila daerah-daerah lainnya juga bergejolak.

 

Hal-hal demikian, praktis tidak dimiliki oleh KPU dan Bawaslu. Oleh karena itu, wajar rasanya apabila Pilkada serentak ini justru akan lebih menguras keringat para pihak yang berkepentingan dalam menjaga keamanan, pertahanan dan ketertiban. Jangan sampai, kita terlalu berkonsentrasi dengan Pilkada dengan daerah yang populer, namun lengah dengan daerah yang justru memiliki tingkat kerawanan yang paling tinggi.

 

Dapat kita lihat pada Pilkada serentak tahun 2017, semua mata justru hanya terpaku pada Pemilihan di DKI Jakarta, yang membuat seolah-olah tidak ada Pilkada di daerah lain. Sehingga nantinya kita lengah dengan apa yang  terjadi daerah. Ditambah lagi dengan begitu tajamnya Pilkada yang mengedepankan Politik Identitas di masyarakat. Maka potensi kekisruhan berbasis SARA justru akan gampang menjadi penyulut. Disisi lain, belum cakapnya masyarakat dalam menerima sumber informasi yang di dapat, akan mempetajakam potensi kekisruhan berbasis SARA. Maka, Dinas Kominfo Daerah sebaiknya responsif terhadap pemberantasan berita palsu (hoax) dan tidak membebankan seluruhnya kepada KPU/Bawaslu di Daerah.

 

Bila kita melihat Pilkada serentak yang telah dilakukan sejak 2015 yang lalu, banyak temuan pelanggaran yang ditangani oleh Bawaslu perihal Netralitas ASN. Fritz Edward Siregar (2020) pernah menyebutkan bahwa konsekuensi dari pelaksanaan pilkada adalah munculnya gesekan dan menjadi imbas praktik politik praktis yaitu berupa penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan dari oknum pejabat setempat. Hal ini juga berpotensi besar dalam memunculkan konflik di masyarakat, antara kebijakan pejabat setempat dengan prinsip penegakkan hukum dan keadilan pemilu

 

Dilihat dari sisi geografis dan terkonsentrasinya konflik dalam Pilkada. Ditambah dengan keterbatasan personil TNI/POLRI dan segmentasi SARA dalam masyarakat yang beragam. Belum lagi profesionalitas ASN yang diragukan dan masih belum cerdasnya masyarakat di daerah dalam menerima berita dan informasi. Maka dari itu, dilihat dari berbagai sudut pandang geopolitik sebagai variabel utama tadi, bersiap-siagalah bahwa Pilkada serentak adalah bom waktu yang siap meledak.