Senin, 09 Mei 2022

E-VOTING DAN DEMOKRASI MODERN

 

Muhammad Ali pernah berkata “The man who has no imagination, has no wings”, hal ini menggambarkan bahwa selayaknya kita senantiasa memiliki mimpi dan abstraksi. Pesan sang petinju legendaris ini mungkin mengilhami Menkominfo, Johnny G.Plate (22/03/2022) yang mengusulkan pemilu 2024 dengan sistem e-voting. Namun sejatinya, usulan politisi partai Nasdem itu bukanlah  hal yang baru dibicarakan di Indonesia.

 

Jauh sebelum itu, Pemerintah Daerah Jembrana telah melakukan e-voting Pilkades pada tahun 2009. Semenjak itu, ratusan pilkades telah melaksanakan demokrasi berbasis elektronik, bahkan dibantu langsung oleh BPPT. Bukan sekedar trial and error, sesungguhnya Permendagri 72 tahun 2020 adalah payung hukum yang mampu menyesuaikan perkembangan demokrasi dengan kemajuan teknologi. Sehingga berbagai desa saat ini telah mampu untuk melaksanakan e-voting. Dengan demikian, bukanlah suatu hal yang mustahil apabila dimasa depan Pileg, Pilpres dan Pilkada juga bisa dilakukan dengan cara e-voting.

 

Secara umum e-voting dapat diartikan sebagai penggunaan hak suara dalam pemilu yang didukung oleh alat elektronik. Ragam dari alat elektronik mencakup pendaftaran suara elektronik, penghitungan suara secara elektronik dan belakangan termasuk aplikasi situs untuk memilih jarak jauh, khususnya internet voting (Kersting dan Baldersheim: 2004). Mengutip data International Institute for Democracy dan Electoral Assistance, pemungutan suara secara elektronik telah digunakan di 34 negara di dunia yang dilakukan dalam berbagai bentuk dan tingkatan.

 

Hal yang telah lama disampaikan oleh pemerhati pemilu ini mungkin perlu direnungkan oleh masyarakat, pasca era pandemi covid-19 ini. Semua tatanan kehidupan masyarakat bergeser sangat cepat dan teknologi internet mampu menjadi solusi. Sebut saja belanja, belajar dan pelayanan publik telah banyak menggunakan fasilitas dalam jaringan (online). Jadi bila saat ini kita melakukan e-voting, mengapa tidak.

 

Pastinya yang menjadi kelebihan dalam penerapan e-voting adalah efisiensi anggaran. Secara filosofis, penyelenggaraan sebuah pemilu semestinya mengikuti prinsip efisiensi (Allan Wall:2006). Maka hingga saat ini, efisiensi adalah bagian dari azas penyelenggaraan pemilu. Ironisnya anggaran pemilu dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Tahun 2019 yang lalu, KPU menghabiskan anggaran 24 triliyun rupiah. Sementara untuk pemilu 2024, KPU merencanakan anggaran sekitar 60 triliun rupiah.

 

Angka itu justru bertolak belakang dengan prinsip efisiensi dalam pemilu. Padahal kita mengetahui bahwa dunia saat ini telah bergeser ke era digital. Prof.Rhenald Kasali menyebutkan bahwa biaya produksi untuk menghasilkan robot, software dan aplikasi turun sebesar 65%. Sedangkan, biaya tenaga kerja diseluruh dunia mengalami peningkatan 2-15% setiap tahunnya. Hal ini praktis membuat biaya pemilu tidak hanya bengkak dari sisi logistik tapi pelaksana teknis dilapangan, seperti PTPS dan KPPS, juga menjadi pengeluaran yang sangat besar.

 

Kita juga digemparkan dengan begitu banyaknya petugas TPS tersebut, meregang nyawa karena beban kerja yang tinggi. Begitu banyaknya formulir yang harus disalin dan jenis surat suara yang dihitung di TPS, terkadang lebih dari 24 jam. Pemilu 2019 saja misalnya, total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit (Arief Budiman:2020). Maka, dari kacamata ini dapat kita lihat bahwa e-voting adalah jawaban agar pesta demokrasi tidak berubah menjadi bencana demokrasi.

 

Efisiensi terhadap waktu juga menjadi pertimbangan. Berdasarkan pengalaman Estonia dalam melaksanakan e-voting, mampu mempercepat pemilih untuk mengetahui hasil pemilu. Sebab, jika dipagi hari diproses maka malam hari sudah diketahui hasilnya. Jadi pemilih tidak perlu lagi menunggu rapat-rapat rekapitulasi yang memakan waktu berhari-hari. Belajar dengan Estonia adalah solusi yang baik dalam mengaplikasi e-voting berbasis internet.

 

Terkait akurasi dan kecepatan sangat dibutuhkan dalam demokrasi modern di era digital. Dengan semakin mutakhirnya perkembangan ilmu komputerisasi yang mengenal sistem enskripsi dan blockchain adalah jawabannya. Kemudian, Selama didukung oleh DPT yang berbasis Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK). Tinggal lagi bagaimana kita mampu menyimpan big data penduduk yang semula berada pada internal storage ke model cloud storage. Sehingga data terdesentralisasi dan terintegrasi antara KPU dan Dirjen Dukcapil.

 

Namun sistem ini masih ada beberapa kelemahan. Jika petugas pemilu tidak memiliki kemampuan yang memadai perihal e-voting. Sangat mengkhawatirkan apabila terjadi kegagalan maka akan mengurangi legitimasi terhadap pemilu. Lalu bagi sejumlah kelompok pemilih, seperti pemilih berusia lanjut, e-voting lebih tidak disukai. Hasil riset (Roseman:2005) menunjukan dalam Pilkada di Georgia-Amerika Serikat, yang menggunakan e-voting tidak disukai oleh pemilih yang berusia tua (diatas 65 tahun). Belum lagi kita harus mempertimbang prinsip aksesibilitas bagi pemilih dengan kategori disabilitas.

 

Maka tidak heran, Negara seperti Belanda dan Jerman yang juga pernah melakukan e-voting memilih kembali kepada sistem yang manual. Terlebih temuan Bawaslu pada 2019 menyebutkan bahwa 12 ribu TPS belum terakses dengan intenet dan bahkan lebih dari 4 ribu TPS belum dialiri oleh listrik. Masalah lain yang mengemuka adalah bagaimana nantinya melakukan pembuktian hukum dalam sengketa perselisihan hasil suara di Mahkamah Konstitusi. Apabila terjadi error dalam proses pemilihan, bagaimana teknis auditnya. Sementara situng yang dimiliki oleh KPU juga memiliki banyak kendala, bahkan rentan untuk diretas.

 

Pertanyaannya kemudian, apakah mungkin Pemilu menggunakan e-voting? Dimasa yang akan datang bukan tidak mungkin dapat diwujudkan. Untuk memanifestasikannya, terdapat beberapa faktor pendukung. Pertama adalah asas legal formal, mau tidak mau UU Pemilu, ITE dan Adminduk harus direvisi. Kedua, Infrastruktur jaringan internet dan jaringan listrik wajib untuk mampu masuk hingga keseluruh pelosok Indonesia.

 

Namun infrastruktur yang paling utama adalah masalah DPT dan SIAK. Sebaiknya data e-KTP masyarakat mampu terdigitalisasi sesuai dengan perkembangan era teknologi 4.0 berbasis cloud computing. Kemudian, dibuat smart contract yang dibuat berbasis blockchain, sehingga data e-KTP mendapatkan hak paten (copyright), untuk selanjutnya menjadi jaminan hukum dan perlindungan dari Negara.

 

Oleh karena itu, sebelum nantinya prasyarat legal formal direvisi dan pembangunan infrastruktur digital ini dikebut. Sosialisasi yang gencar mengenai e-voting mutlak harus dilakukan. Ini adalah pekerjaan besar bagi kita, menuju demokrasi Indonesia yang semakin modern.

Sabtu, 02 April 2022

PILKADA SERENTAK, ANCAMAN GEOPOLITIK

 

Pemilihan Umum Tahun 2024 sebaiknya ditunda, sepertinya banyak mendapatkan pertentangan dari masyarakat, terutama akademisi. Berkaca dari Pemilu 2019 yang dapat dibilang sukses dalam penyelenggaraan, praktis hal yang sama tidak menjadi hambatan untuk melaksanakan hal yang sama di tahun 2024. Lalu, bagaimana Pilkada Serentak 2024 yang pertama kali dilaksanakan setiap daerah Indonesia?

 

Perlu diketahui bahwa saat ini, penyelenggara pemilu mengajukan Rancangan Anggaran Pilkada kepada masing-masing Pemerintah Daerah. Sehingga secara matematika anggaran bisa dipersiapkan dari saat ini. Hal yang luput kita perhitungkan adalah bagaimana keamanan Negara pasca Pilkada. Hal ini menjadi penting untuk disimak, karena pada prinsipnya Pilkada adalah barometer konflik politik yang terkonsentrasi di daerah. Potensi ini akan kita lihat dari perspektif geo-politik.

 

Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan (LCS) adalah indikator pertama, dimana ketegangan ini muncul atas klaim Pemerintah Tiongkok tentang kepemilikan wilayah tersebut. Hampir seluruh anggota ASEAN yang terlibat langsung dalam ketegangan ini, ditambah dengan Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Indikator yang kedua adalah AUKUS. Pakta keamanan yang ditandatangani oleh Amerika Serikat, Inggris dan Australia menjadi ancaman bagi Tiongkok. Dimana ketiga Negara tersebut memiliki armada perang laut yang mutakhir yakni Kapal Selam bertenaga Nuklir.  Disisi lain, Prancis sangat dirugikan dengan sikap Australia yang membatalkan pembelian Alutsista dari Negara pemilik menara Eifel tersebut.

 

Dua indikator diatas sudah cukup menggambarkan, bagaimana posisi geografis Indonesia ditengah pusaran konflik. Ditambah lagi saat ini perang antara Rusia dan Ukraina masih berlanjut, maka bisa saja konflik ini makin melebar. Sementara itu, politik luar negeri Indonesia bermain bagaikan anak gadis yang gombal. Pemerintahan Jokowi, sangat telaten dalam memposisikan diri, tidak ikut serta untuk aktif dalam mendamaikan keadaan tersebut dan tidak pula lengah dengan segala keadaan. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah Alutsista pada Tahun Anggaran 2022 ini.

 

Segala kepungan pakta keamanan dan ketegangan yang terjadi di dunia hari ini, wajib disikapi dengan kesiagaan. Sulit kiranya saat ini Indonesia akan digempur oleh Negara-negara yang ada, karena kepentingan yang sangat besar di kawasan ini. Terlebih dengan jumlah populasi yang besar dan sejarah panjang perlawanan gerilya rakyat semesta, maka akan sia-sialah rasanya untuk menaklukan Indonesia dengan aksi-aksi Militer. Oleh karena itu, untuk menaklukan Negara ini, sebaiknya dilakukan dengan metode Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera yang bernama Pilkada Serentak Tahun 2024.

 

Prinsipnya, Pilkada sama dengan Pemilu. Dimana kita bisa membelah-belah potensi lumbung suara masyarakat berdasarkan sentimen sosiologis, namun dengan skala kedaerahan yang ada. Dalam kacamata marketing politik itu adalah hal yang jumrah; kajian segmentasi, targeting dan positioning akan menjadi wajar dilakukan oleh Pasangan Calon. Pembelahan itu dirasa aman bilamana terjadi hanya pada tingkatan elit. Masalahnya akan lebih tajam bila pembelahan ini justru terjadi di Masyarakat. Karena konsentrasi Pilkada ada di tiap-tiap daerah, maka potensi konflik juga akan tersebar. Pada poin inilah TNI/POLRI wajib untuk berperan aktif dalam menjaga keamanan dan kondusifitas.

 

Maka, teknis pengamanan dari TNI/POLRI haruslah didudukkan berbarengan dengan penyelenggara pemilu, yang saat ini sedang mengajukan Rancangan Anggaran Pilkada kepada masing-masing Pemerintah Daerah. Karena jumlah personil pengamanan yang terbatas dan tidak merata jumlahnya di tiap-tiap daerah, tentu akan menyulitkan. Indonesia yang sangat luas, pastinya akan sulit melakukan distribusi personil TNI/POLRI dalam pengamanan Pilkada. Jenderal-jenderal yang ada dipusat, wajib melakukan penyaringan dengan seksama daerah-daerah mana saja yang membutuhkan personil. Disamping itu, intelejen harus dengan seksama melakukan preventif, setiap gerakan-gerakan yang berpotensi menimbulkan konflik.

 

Bila dalam Pilpres kita bisa melihat bagaimana tekanan muncul di pusat. DKI Jakarta menjadi barometer dan seluruh kekuatan keamanan di daerah dikerahkan untuk mengamankan. Hal ini terjadi pada tahun 2019 yang lalu dimana aparat keamanan menjaga penuh di pusat. Namun dalam Pilkada justru akan berbeda, misalnya terjadi kerawanan di Aceh dan Papua saja praktis kekuatan TNI/POLRI akan terbelah menjadi dua dengan jarak yang jauh. Belum lagi apabila daerah-daerah lainnya juga bergejolak.

 

Hal-hal demikian, praktis tidak dimiliki oleh KPU dan Bawaslu. Oleh karena itu, wajar rasanya apabila Pilkada serentak ini justru akan lebih menguras keringat para pihak yang berkepentingan dalam menjaga keamanan, pertahanan dan ketertiban. Jangan sampai, kita terlalu berkonsentrasi dengan Pilkada dengan daerah yang populer, namun lengah dengan daerah yang justru memiliki tingkat kerawanan yang paling tinggi.

 

Dapat kita lihat pada Pilkada serentak tahun 2017, semua mata justru hanya terpaku pada Pemilihan di DKI Jakarta, yang membuat seolah-olah tidak ada Pilkada di daerah lain. Sehingga nantinya kita lengah dengan apa yang  terjadi daerah. Ditambah lagi dengan begitu tajamnya Pilkada yang mengedepankan Politik Identitas di masyarakat. Maka potensi kekisruhan berbasis SARA justru akan gampang menjadi penyulut. Disisi lain, belum cakapnya masyarakat dalam menerima sumber informasi yang di dapat, akan mempetajakam potensi kekisruhan berbasis SARA. Maka, Dinas Kominfo Daerah sebaiknya responsif terhadap pemberantasan berita palsu (hoax) dan tidak membebankan seluruhnya kepada KPU/Bawaslu di Daerah.

 

Bila kita melihat Pilkada serentak yang telah dilakukan sejak 2015 yang lalu, banyak temuan pelanggaran yang ditangani oleh Bawaslu perihal Netralitas ASN. Fritz Edward Siregar (2020) pernah menyebutkan bahwa konsekuensi dari pelaksanaan pilkada adalah munculnya gesekan dan menjadi imbas praktik politik praktis yaitu berupa penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan dari oknum pejabat setempat. Hal ini juga berpotensi besar dalam memunculkan konflik di masyarakat, antara kebijakan pejabat setempat dengan prinsip penegakkan hukum dan keadilan pemilu

 

Dilihat dari sisi geografis dan terkonsentrasinya konflik dalam Pilkada. Ditambah dengan keterbatasan personil TNI/POLRI dan segmentasi SARA dalam masyarakat yang beragam. Belum lagi profesionalitas ASN yang diragukan dan masih belum cerdasnya masyarakat di daerah dalam menerima berita dan informasi. Maka dari itu, dilihat dari berbagai sudut pandang geopolitik sebagai variabel utama tadi, bersiap-siagalah bahwa Pilkada serentak adalah bom waktu yang siap meledak.