Jumat, 12 Februari 2010

Impeachment dalam Sistem Presidensial

Oleh: Prof. Dr. Maswadi Rauf
Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia

Impeachment menjadi pembicaraan publik dalam beberapa bulan terakhir ini sejalan dengan bergulirnya penyelidikan kasus Bank Century oleh Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century yang dibentuk DPR RI.

Istilah tersebut berarti pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya oleh MPR.Istilah lain yang juga digunakan dalam pengertian ini adalah pemakzulan yang sebenarnya digunakan untuk raja-raja pada masa lalu yang diturunkan dari tahta kekuasaannya. Isu pemakzulan menjadi menghangat akhir-akhir ini karena adanya dugaan pelanggaran hukum dalam kasus dana talangan sebesar Rp6,7 triliun yang diberikan kepada Bank Century yang bermasalah.Pelanggaran itu diduga dilakukan Wakil Presiden Boediono pada waktu dia menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 2008. Kebijakan tersebut dibuat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai Menteri Keuangan.

Gubernur BI adalah salah seorang anggotanya.Badan ini merupakan badan pemerintah sehingga merupakan bagian dari lembaga eksekutif.Oleh karena itu ada yang mengaitkan kebijakan tersebut dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kepala lembaga eksekutif di dalam sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, presiden memang memegang tanggung jawab pemerintahan sepenuhnya.

Pengawasan

Pemakzulan dalam sistem presidensial adalah konsekuensi dari demokrasi.Dalam demokrasi,pengawasan adalah salah satu konsep terpenting yang menjadikan pengawasan sebagai salah satu persyaratan bagi hidupnya demokrasi.Perlunya pengawasan dalam demokrasi melahirkan trias politica, yakni pembagian lembaga-lembaga negara menjadi tiga (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang setara dan seimbang sehingga pengawasan di antara lembaga-lembaga tersebut dapat dilakukan.

Ini disebut sebagai sistem checks and balances(pengawasan dan keseimbangan).Tidak hanya itu,demokrasijugamenuntut dikembangkannya pengawasan oleh rakyat terhadap pemerintah dengan diberikannya kebebasan berbicara dan berserikat/berkumpul sehingga rakyat dapat memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah. Agar pengawasan dapat efektif, harus ada sanksi terhadap siapa saja yang terbukti melanggar hukum. Tuduhan adanya pelanggaran dan penyelewengan tersebut dihasilkan oleh adanya pengawasan yang sistematis dan berkelanjutan yang dilakukan lembaga-lembaga negara tadi atau oleh rakyat.

Bila sanksi tidak ada atau sanksi tidak diberikan karena lemahnya penegakan hukum, pengawasan tidak ada manfaatnya dan pelanggaran hukum serta penyelewengan akan berkembang secara luas. Jadi pengawasan harus dilengkapi dengan sanksi terhadap mereka yang melanggar.Pemakzulan terhadap presiden dan/atau wakil presiden adalah sanksi terberat yang dapat dijatuhkan kepada kedua pejabat politik tersebut. Sebenarnya pemakzulan adalah hal yang wajar karena bila tidak ada sanksi,kesewenang-wenangan dapat berkembang.Tidak adanya sanksi berupa pemakzulan mengandung bahaya karena tidak ada kekhawatiran terhadap sanksi dalam membuat kebijakan sehingga keinginan dan kepentingan pribadi atau kelompok dapat menjadi menonjol yang berarti terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Sistem Presidensial di Indonesia

Sistem presidensial yang digunakan di Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang telah diamendemen memberikan sanksi berupa pemakzulan terhadap presiden dan/atau wakil presiden yang terbukti melanggar hukum.Hal ini diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 7B. Bahkan Mahkamah Konstitusi telah membuat hukum acara pemakzulan akhir tahun lalu untuk memperjelas prosedur yang harus ditempuh dalam melakukan pemakzulan.

Jadi tidak perlu lagi ada perdebatan tentang ada tidaknya pemakzulan di Indonesia karena hal tersebut telah dinyatakan secara tertulis dan gamblang dalam UUD 1945. Yang pernah diperdebatkan adalah ada tidaknya pemakzulan menurut UUD 1945 yang asli.Ada yang berpendapat bahwa UUD 1945 yang asli tersebut tidak mengenal pemakzulan karena tidak ada aturan mengenai hal tersebut dalam konstitusi tersebut.Namun banyak yang berpendapat bahwa pemakzulan dikenal oleh UUD 1945 yang asli karena presiden dipilih oleh MPR sehingga presiden bertanggung jawab kepada MPR. Sebagai lembaga yang memberikan mandat kepada presiden,MPR juga dapat menarik mandat itu kembali dari presiden yang merupakan mandataris MPR.

Oleh karena itu pemakzulan tidak bertentangan dengan UUD 1945 yang asli. Terlepas dari perdebatan di kalangan ahli hukum tersebut, pemakzulan telah dilakukan dua kali di bawah UUD 1945 yang asli.Pertama adalah pemakzulan terhadap Presiden Soekarno oleh MPRS pada 1967. Adapun yang kedua adalah pemakzulan terhadap Presiden KH Abdurrahman Wahid oleh MPR pada 2 0 0 1 . Pemakzulan tersebut dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Bila DPR berpendapat bahwa presiden telah melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau mengambil sikap politik yang berlawanan dengan sikap politik DPR,DPR dapat mengundang MPR untuk melakukan Sidang Istimewa (SI) untuk membicarakan pemakzulan presiden. Bila MPR setuju,presiden harus berhenti.

Mudahnya pemakzulan presiden di bawah UUD 1945 yang asli mengakibatkan timbulnya pendapat bahwa sistem presidensial tersebut tidak murni karena telah bercampur dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, perdana menteri yang merupakan kepala pemerintahan dapat diberhentikan setiap saat (yang juga berarti bubarnya kabinet) bila tidak lagi mendapat dukungan DPR. Hilangnya dukungan DPR berarti DPR memberikan “mosi tidak percaya” kepada perdana menteri dan kabinetnya yang menyebabkan bubarnya pemerintah.Oleh karena itu sistem parlementer cenderung menghasilkan ketidakstabilan politik karena kabinet bisa jatuh setiap waktu yang menyebabkan sulitnya pemerintah melaksanakan program-program pembangunan.

Sistem presidensial yang digunakan di bawah UUD 1945 telah semakin mendekati sistem presidensial murni karena presiden dipilih langsung oleh rakyat dan presiden dapat diberhentikan melalui proses yang sulit. Proses pemberhentian yang sulit tersebut memang dibutuhkan agar presiden tidak diberhentikan setiap saat yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Meskipun begitu, presiden tetap dapat diberhentikan bila terjadi pelanggaran hukum sebagai mekanisme kontrol terhadap presiden.

Pertemuan di Istana Bogor

Presiden SBY pada 21 Januari 2009 mengadakan pertemuan dengan pimpinan tujuh lembaga negara untuk membicarakan perkembangan politik terakhir yang antara lain terkait dengan pemakzulan. Setelah pertemuan tersebut Presiden SBY mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan karena rapat tersebut sepakat bahwa impeachment tidak perlu diberlakukan karena sistem saling mengimbangi dan mengawasi bukan untuk saling menjatuhkan.

Presiden SBY benar bahwa sistem “mosi tidak percaya” tidak dikenal di Indonesia. Beliau benar karena “mosi tidak percaya” hanya berlaku dalam sistem parlementer dan Indonesia tidak menggunakan sistem parlementer. Pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden jelas diatur dalam UUD 1945 hasil amendemen sehingga dapat digunakan bila telah memenuhi persyaratan seperti yang ditetapkan dalam konstitusi tersebut.

Yang seharusnya dipersoalkan dalam isu pemakzulan adalah kemampuan DPR untuk memenuhi persyaratan tersebut, yakni buktibukti terjadinya pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil presiden dan dukungan yang cukup di DPR untuk membuat keputusan tersebut. Persyaratan yang cukup berat bagi DPR untuk mengusulkan pemberhentian kepada MK kelihatannya sulit dipenuhi karena keputusan itu harus didukung oleh 2/3 suara di dalam rapat yang dihadiri oleh minimal 2/3 dari seluruh anggota DPR.

Jadi dilihat dari persyaratan dukungan ini, diperkirakan sangat sulit bagi DPR untuk bisa mengegolkan usulan tersebut.Jadi sikap yang terlalu khawatir terhadap terjadinya pemakzulan menyebabkan keluarnya pernyataan-pernyataan yang salah. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar