Senin, 01 Maret 2010

Politik Mimikri dan Karakter Bangsa

Oleh: J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS dan Dewan Pengawas PP AIPI, periode 2008-2011

Panggung dan panggung bisa memiliki makna yang berbeda secara diametral. Panggung politik lazimnya menampilkan kebohongan dengan alasan pembenar demi atau atas nama kepentingan umum atau kepentingan nasional. Pembenaran dalam perilaku politik dusta memiliki sejarah yang sangat panjang (Budi Hardiman, Kompas, 12/2).

Pidato George W Bush dan Tony Blair yang menyatakan Irak mampu mengembangkan persenjataan nuklir yang tak hanya mengancam kedua negara itu, tetapi juga keamanan dunia sehingga dijadikan alasan pembenar bagi aliansi untuk menyerang Irak adalah dusta politik. Sementara panggung seni, setidak-tidaknya menurut Pablo Ruiz Picasso (25 Oktober 1881-8 April 1973), adalah pergelaran yang menampilkan kebohongan, tetapi dengan dusta justru ingin membeberkan kebenaran yang hakiki (art is a lie that makes us realize truth). Dalam dunia wayang, Rahwana adalah manusia yang memiliki kepala sepuluh dan tangan dua puluh yang adalah kebohongan, tetapi dusta itu justru ingin mengungkapkan kebenaran tentang salah satu sifat manusia yang tamak dan serakah.

Teater politik dengan lakon Pansus Bank Century sejak awal menjadi panggung politik. Berbagai perdebatan sengit menjadi kemasan untuk membenarkan target politik yang sesungguhnya. Koalisi politik sporadis kian kehilangan daya rekatnya. Pertarungan kepentingan politik antara dua kubu untuk mencapai target tertentu. Pertama, yang setuju bail out, PKB, terutama Partai Demokrat, ingin menghapuskan tuduhan kebijakan dana talangan untuk kepentingan partai. Kubu lain (PDI-P, Hanura, Gerindra, PKS, PPP, dan Partai Golkar) seluruh susunan logika argumentasi diarahkan, kebijakan dana talangan bermasalah, tidak tepat, bahkan kemungkinan sebagian mengalir ke partai pemenang pemilu. Target politiknya mulai dari menaikkan posisi tawar sampai dengan menuntut pergantian pejabat yang dianggap bersalah atau bertanggung jawab.

Perlawanan kubu pertama dimulai dengan melontarkan isu reshuffle kabinet, pengusutan tunggakan pajak, dugaan korupsi, bahkan sampai dengan pemasang iklan besar di media yang dimiliki atau berafiliasi dengan tokoh parpol mendapatkan gangguan. Namun, kubu ini juga menyiapkan tawaran jabatan empuk di BUMN, duta besar atau proyek pemerintah.

Sebagian dari kubu kedua melontarkan serangan balik dengan ingin menyebutkan nama mereka yang dianggap bertanggung jawab dan dianggap bersalah merumuskan kebijakan bail out, seperti Boediono, Sri Mulyani Indrawati, Raden Pardede, dan Marsilam Simanjuntak. Penyebutan nama ditolak karena, selain menghakimi, juga dianggap mengancam Susilo Bambang Yudhoyono. Kubu Partai Demokrat menggugat mitra koalisi tak tahu etika politik karena mereka menandatangani kesepakatan politik mendukung presiden dan wakil presiden terpilih. Ancaman keluar dari koalisi menjadi senjata politik.

Namun, mengingat panggung politik adalah pergelaran kemungkinan, mungkin partai koalisi yang bersuara keras akan berbalik arah. Berita bertandangnya Aburizal Bakrie minggu lalu ke kediaman Presiden memberikan indikasi kuat akhir lakon Pansus adalah antiklimaks. Lebih tragis dan memprihatinkan kalau proses hukum penyimpangan dana talangan, pengejaran dugaan pengemplang utang, serta penyelidikan korupsi yang baru-baru ini dilakukan menjadi mandek.

Andai kata skenario itu menjadi kenyataan, inilah praktik politik mimikri. Perilaku politik yang mudah berubah bila bersinggungan dengan kepentingan subyektif golongan, kelompok, atau partainya. Mimikri adalah keistimewaan dari sejenis binatang yang memiliki kodrat kemampuan menyesuaikan diri yang luar biasa. Warna kulit segera berubah sesuai benda yang ditempelinya. Itulah insting binatang melakukan proteksi dengan cara mengelabui musuh yang mengancamnya. Dalam konteks ini, kepentingan pragmatis mengorbankan harapan publik, terutama bagi mereka yang berekspektasi simpanannya bisa diperoleh kembali setelah bail out.

Meskipun panggung politik adalah pergelaran kebohongan dalam konteks adu siasat, tetapi seharusnya adu pintar disertai kejujuran serta orientasi pada kemaslahatan rakyat. Tanpa persyaratan pokok itu, transformasi politik justru akan melumpuhkan demokrasi. Sangat memprihatinkan. Kemasygulan kian mendalam mengingat krisis kejujuran akhir-akhir ini tak hanya melanda ranah politik, tetapi juga menjangkau wilayah yang sangat tabu bagi perilaku curang, wilayah akademik. Tidak hanya murid atau mahasiswa yang menjiplak, guru besar dan calon guru besar pun melakukan plagiat.

Oleh karena itu, hikmah dari pengalaman pahit dan memedihkan harus membuahkan niat yang kuat bangsa ini membangun karakter bangsa. Terutama kader politik yang akan menjadi pemegang kekuasaan, selain harus cerdik, lihai, tetapi juga jujur, bermoral, bijak, berintegritas, serta berkomitmen yang tinggi mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Membiarkan politik mimikri berkembang akan mengakibatkan demokrasi hanya menempel pada kulit luar tubuh bangsa Indonesia yang mudah dimanipulasi oleh elite politik. Strategi membangun budaya politik yang bermartabat harus menjadi prioritas paling atas dan mendesak. Membangun karakter tidak dapat dilakukan dalam sekejap, tetapi harus diawali dengan sangat dini. Keteladanan dan pendidikan budi pekerti yang menyusup kepada seluruh praktik kehidupan sehari-hari adalah salah satu alternatif yang perlu segera dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar