Minggu, 16 Januari 2011

teori politik.........

TEORI NEGARA THOMAS HOBBES:

Negara
...
Pemikiran Hobbes mengenai negara terdapat di dalam karya besarnya yang berjudul "Leviathan". Leviathan adalah nama binatang di dalam mitologi Timur Tengah yang amat buas. Di dalam filsafat Hobbes, Leviathan merupakan simbol suatu sistem negara. Seperti Leviathan, negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan.

Di dalam pandangannya tentang manusia, Hobbes berpendapat bahwa seluruh perilaku manusia ditentukan oleh kebutuhan mempertahankan diri atau takut akan kehilangan nyawa. Dengan mengetahui hal tersebut, Hobbes merasa mampu menjawab pertanyaan bagaimana manusia harus bersikap baik, yaitu kuasailah rasa takut mati mereka. Bila manusia diancam dan dibuat takut, ia akan dapat mengendalikan emosi dan nafsunya sehingga kehidupan sosial dapat terjamin. Karena itu, negara haruslah menekan rasa takut mati dari warga negaranya, supaya setiap orang berbuat baik.

Terbentuknya negara

Menurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan diri. Karena kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain: homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Keadaan ini mendorong terjadinya "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes). Inilah "keadaan alamiah" saat belum terbentuknya negara. Akan tetapi, jika terus-menerus terjadi perang semua melawan semua, tentu saja eksistensi manusia juga terancam. Untuk itu, manusia-manusia mengadakan sebuah perjanjian bersama untuk mendirikan negara, yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam perdamaian dan ketertiban.

Status negara

Negara berkuasa secara mutlak dan berhak menentukan nasib rakyatnya demi menjaga ketertiban dan perdamaian. Status mutlak dimiliki negara sebab negara bukanlah rekan perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian antar-warga negara. Artinya, di dalam perjanjian membentuk negara, setiap warga negara telah menyerahkan semua hak mereka kepada negara. Akan tetapi, negara sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya, termasuk kewajiban untuk bertanggung jawab pada rakyat. Negara berada di atas seluruh warga negara dan berkuasa secara mutlak. Kemudian negara juga berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada hukum-hukum yang ada, serta menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk hukuman mati. Dengan demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting untuk berperilaku destruktif. Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk patuh kepada hukum karena memiliki rasa takut dihukum mati. Hilangnya kebebasan warga negara terhadap negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang ingin hidup dalam ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian.

Pembatasan kekuasaan negara

Jikalau kekuasaan negara begitu mutlak dan tidak dapat dituntut oleh warga negara, bukankah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh negara menjadi amat besar??? Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, Hobbes menyatakan dua hal:

1. Perlu ada kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan, sebab kelak perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam pengadilan terakhir.

2. Jika negara mengancam kelangsungan hidup warga negara, maka setiap warga negara yang memiliki rasa takut terhadap kematian akan berbalik menghancurkan negara, sebelum negara menghancurkan mereka. Pada situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan alamiah" untuk selanjutnya membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya.

TEORI NEGARA JOHN LOCKE:

Tentang negara

Pandangan Locke tentang negara terdapat di dalam bukunya yang berjudul "Dua Tulisan tentang Pemerintahan" (Two Treatises of Civil Government). Ia menjelaskan pandangannya itu dengan menganalisis tahap-t...ahap perkembangan masyarakat. Locke membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga, yakni:

1. Keadaan alamiah (the state of nature)
2. Keadaan perang (the state of war)
3. Negara (commonwealth).

Tahap keadaan alamiah

Keadaan alamiah adalah tahap pertama dari perkembangan masyarakat. Konsep Locke ini serupa dengan pemikiran Hobbes namun bila Hobbes menyatakan keadaan alamiah sebagai keadaan "perang semua lawan semua", maka Locke berbeda. Menurut Locke, keadaan alamiah sebuah masyarakat manusia adalah situasi harmonis, di mana semua manusia memiliki kebebasan dan kesamaan hak yang sama. Dalam keadaan ini, setiap manusia bebas menentukan dirinya dan menggunakan apa yang dimilikinya tanpa bergantung kepada kehendak orang lain. Meskipun masing-masing orang bebas terhadap sesamanya, namun tidak terjadi kekacauan karena masing-masing orang hidup berdasarkan ketentuan hukum kodrat yang diberikan oleh Tuhan. Yang dimaksud hukum kodrat dari Tuhan menurut Locke adalah larangan untuk merusak dan memusnahkan kehidupan, kebebasan, dan harta milik orang lain. Dengan demikian, Locke menyebut ada hak-hak dasariah yang terikat di dalam kodrat setiap manusia dan merupakan pemberian Allah (Bahasa Nasrani). Konsep ini serupa dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di dalam masyarakat modern.

Tahap keadaan perang

Tahap kedua adalah keadaan perang. Locke menyebutkan bahwa ketika keadaan alamiah telah mengenal hubungan-hubungan sosial maka situasi harmoni mulai berubah. Penyebab utamanya adalah terciptanya uang. Dengan uang, manusia dapat mengumpulkan kekayaan secara berlebihan, sedangkan di dalam keadaan alamiah tidak ada perbedaan kekayaan yang mencolok karena setiap orang mengumpulkan secukupnya untuk konsumsi masing-masing. Ketidaksamaan harta kekayaan membuat manusia mengenal status tuan-budak, majikan-pembantu, dan status-status yang hierarkis lainnya. Untuk mempertahankan harta miliknya, manusia menjadi iri, saling bermusuhan, dan bersaing. Masing-masing orang menjadi hakim dan mempertahankan miliknya sendiri. Keadaan alamiah yang harmonis dan penuh damai tersebut kemudian berubah menjadi keadaan perang yang ditandai dengan permusuhan, kedengkian, kekerasan, dan saling menghancurkan. Situasi seperti ini berpotensi memusnahkan kehidupan manusia jika tidak ada jalan keluar dari keadaan perang.

Tahap terbentuknya negara

Locke menyatakan bahwa untuk menciptakan jalan keluar dari keadaan perang sambil menjamin milik pribadi, maka masyarakat sepakat untuk mengadakan "perjanjian asal (primordial)". Inilah saat lahirnya negara persemakmuran (commonwealth). Dengan demikian, tujuan berdirinya negara bukanlah untuk menciptakan kesamarataan setiap orang, melainkan untuk menjamin dan melindungi milik pribadi setiap warga negara yang mengadakan perjanjian tersebut.

Di dalam perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua kekuasaan penting yang mereka miliki di dalam keadaan alamiah kepada negara. Kedua kuasa tersebut adalah hak untuk menentukan bagaimana setiap manusia mempertahankan diri, dan hak untuk menghukum setiap pelanggar hukum kodrat yang berasal dari Tuhan. Ajaran Locke ini menimbulkan dua konsekuensi:

1. Kekuasaan negara pada dasarnya adalah terbatas dan tidak mutlak sebab kekuasaannya berasal dari warga masyarakat yang mendirikannya. Jadi, negara hanya dapat bertindak dalam batas-batas yang ditetapkan masyarakat terhadapnya.

2. Tujuan pembentukan negara adalah untuk menjamin hak-hak asasi warga, terutama hak warga atas harta miliknya. Untuk tujuan inilah, warga bersedia melepaskan kebebasan mereka dalam keadaan alamiah yang diancam bahaya perang untuk bersatu di dalam negara.

Dengan demikian, Locke menentang pandangan Hobbes tentang kekuasaan negara yang absolut dan mengatasi semua warga negara.

Pembatasan kekuasaan negara

Negara di dalam pandangan Locke dibatasi oleh warga masyarakat yang merupakan pembuatnya.Untuk itu, sistem negara perlu dibangun dengan adanya pembatasan kekuasaan negara, dan bentuk pembatasan kekuasaan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah dengan membentuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang ditentukan oleh Parlemen berdasarkan prinsip mayoritas. Cara kedua adalah adanya pembagian kekuasaan dalam tiga unsur: legistlatif, eksekutif, dan federatif.

Unsur legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang dan merupakan kekuasaan tertinggi. Kekuasaan ini dijalankan oleh Parlemen yang mewakili golongan kaya dan kaum bangsawan sebab mereka, dengan kekayaannya, paling banyak menyumbangkan sesuatu kepada negara. Dalam membuat undang-undang, kekuasaan legislatif terikat kepada tuntutan hukum alam yaitu keharusan menghormati hak-hak dasar manusia. Unsur eksekutif adalah pemerintah yang melaksanakan undang-undang, yaitu raja dan para bawahannya. Terakhir, unsur federatif adalah kekuasaan yang mengatur masalah-masalah bilateral, seperti mengadakan perjanjian damai, kesepakatan kerja sama, atau menyatakan perang. Menurut Locke, kekuasaan federatif dapat dipegang oleh pihak eksekutif, di mana dalam keadaan darurat pihak eksekutif dapat mengambil tindakan yang melampaui wewenang hukum yang dimilikinya.

Di dalam sistem kenegaraan Locke di atas, tetap ada kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang berkuasa atas rakyat. Oleh karena itu, menurut Locke, rakyat memiliki hak untuk mengadakan perlawanan dan menyingkirkan pihak eksekutif dengan kekerasan bila mereka telah bertindak di luar wewenang mereka. Di sini, rakyat merebut kembali hak yang telah mereka berikan.

Lihat selengkapnya di:
http://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke

Nah, dari uraian di ateh tu, di ma latak perbedaan yang menjebak lai, Diak???

TEORI KELAS KARL MARX:

Kelas sosial atau golongan sosial merujuk kepada perbedaan hierarkis (atau stratifikasi) antara insan atau kelompok manusia dalam masyarakat atau budaya. Biasanya kebanyakan masyarakat memiliki golongan sosial, namun t...idak semua masyarakat memiliki jenis-jenis kategori golongan sosial yang sama. Berdasarkan karakteristik stratifikasi sosial, dapat kita temukan beberapa pembagian kelas atau golongan dalam masyarakat. Beberapa masyarakat tradisional pemburu-pengumpul, tidak memiliki golongan sosial dan seringkali tidak memiliki pemimpin tetap pula. Oleh karena itu masyarakat seperti ini menghindari stratifikasi sosial.. Dalam masyarakat seperti ini, semua orang biasanya mengerjakan aktivitas yang sama dan tidak ada pembagian pekerjaan.

Saya uraikan sedikit mengenai gambaran kehidupan pada masyarakat Romawi. Ketika para penguasa Romawi pertama kali memperkenalkan istilah kelas (classis) untuk membagi penduduk ke dalam kelompok - kelompok pembayaran pajak, mereka tidak membayangkan akibat lanjut dari kategorisasi demikian. Kategori yang mereka buat setidaknya mengandung perbedaan penilaian terhadap penduduk. Di satu pihak adalah assidui {{[Baca Dahrendorf (1984) dalam bukunya “Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri”]}}, yakni orang yang termasuk ke dalam 100.000 penduduk yang mereka hormati; di lain pihak adalah proletarii, yakni orang yang memeiliki kekayaan yang terdiri dari sejumlah anak cucu (proles) dan yang menang atas lumpenproletariat, hanya karena dihitung menurut jumlah kepala (capita censi) mereka belaka. Seperti istilah golongan pendapatan orang Amerika, walau semula tak lebih dari sekedar kategori statistik, namun menyentuh sebagian besar persoalan peka mengenai ketimpangan sosial; begitu pula kelas-kelas Romawi kuno, membagi-bagi penduduk lebih dari sekedar unit-unit statistika belaka. Jika anak-anak muda itu mengatakan sebuah film itu hebat, itu berarti termasuk film kelas utama atau kelas tinggi. Begitu pula jika dikatakan: orang Romawi adalah classis atau classicus, itu berarti bahwa ia termasuk ke dalam kelas utama atau kelas tinggi, kecuali jika secara explisit ia dinyatakan sebagai orang dari kelas ke lima atau proletar.

Dalam makna istilah kelas dapat ditemukan di semua bahasa-bahasa Eropa di penghujung abad ke-18. di abad ke-19, konsep kelas secara bertahap memperoleh corak yang makin pasti. Adam Smith telah berbicara mengenai “si miskin” atau “kelas pekerja”. Di dalam karya Ricardo dan Ure, Saint Simon dan Fourier, dan tentu saja di dalam karya Marx dan Engels, “kelas kapitalis” muncul di sepanjang “kelas pekerja”, “kelas si kaya” di samping “kelas si miskin”, “kelas borjuis” disamping “kelas proleratiat” (yang telah menyertai semua konsep kelas yang yang semula berasal dari Romawi). Sejak konsep kelas khusus in diterapkan petama kali di abad ke-19, sejarah konsep ini telah menjadi sangat pentingnya dalam masyarakat yang dibentuknya.

Kesulitan pertama yang langsung kita hadapi ketika membahas mengenai kelas sosial dari pandangan Karl Marx adalah bahwa, meskipun Marx sering berbicara tentang kelas - kelas sosial, ia tidak pernah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan istilah “kelas”. Seakan - akan arti kata itu sudah jelas dengan sendirinya. Pada umumnya, mengikuti sebuah definisi Lenin, kelas sosial dianggap sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang dtentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Itupun belum jelas seratus persen. Apakah para cendikiawan merupakan sebuah kelas tersendiri (pada umumnya disangkal oleh kaum marxis)? Bagaimana halnya golongan pegawai negeri baik sipil maupun militer. Mahasiswa dianggap bukan kelas sosial. Lalu mereka itu apa? Begitu pula tidak jelas apakah kelas merupakan kenyataan selama seluruh sejarah. Apakah dalam semua kebudayaan pasca primitif terdapat kelas sosial? Pertanyaan ini pada umumnya dibenarkan, terutama karena kalimat termasyhur pada permulaan manifesto komunis: “Sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”. Tetapi dalam tulisan Marx ada juga indikasi bahwa, bertentangan dengan hal itu, kelas sosial merupakan gejala khas masyarakat pascafeodal, sedangkan golongan sosial dalam masyarakat feodal dan kuno lebih tepat disebut “kasta”.

Dasar anggapan kedua adalah bahwa bagi Marx sebuah kelas baru dianggap kelas dalam arit sebenarnya, apabila dia bukan hanya secara objektif merupakan golongan sosial dengan kepentingan tersendiri, melainkan juga secara subjektif menyadari diri sebagai kelas, sebagai golongan khusus dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan-kepentingan spesifik serta mau memperjuangkannya. Dalam arti ini hanya kelas buruh industri {{[Kelas buruh atau sering disebut Proletariat berasal dari revolusi industri… (yang mana) ditandai dengan ditemukannya mesin uap, berbagai mesin yang dapat berputar, perkakas tenun mekanik dan sederetan berbagai alat mekanik. Mesin-mesin ini, yang sangat mahal harganya dan yang dengan demikian hanya bisa dimiliki oleh para kapitalis besar, mentransformasikan corak produksi secara keseluruhan, dan menggantikan pekerja-pekerja pada masa tersebut, karena mesin-mesin tersebut mampu menghasilkan komoditi-komoditi yang lebih murah dan lebih baik daripada yang mampu diproduksi oleh para pekerja yang bekerja secara tidak efisien dengan menggunakan tangan. Mesin-mesin tersebut menempatkan keseluruhan industri ke tangan-tangan pada kapitalis besar dan membuat seluruh milik para pekerja menjadi tidak berguna. Hasilnya, para kapitalis dengan segera memiliki segalanya di tangan mereka dan tak ada yang tersisa bagi para pekerja. (Friederich Engels) dimabil dari :Henslin, James M. 2007. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi. Jakarta: Erlangga]}} yang merupakan kelas dalam arti yang sebenarnya, dan meskipun kurang tajam juga borjuis (dan pada akhir abad ke 20 juga kaum tani di negeri industri maju yang barangkali merupakan kelas sosial paling militan dalam masyarakat mereka).

Ada beberapa unsur dalam teori kelas Karl Marx yang perlu diperhatikan:

1. Tampak betapa besarnya peran segi struktural dibandingkan segi kesadaran dan moralitas. Pertentangan antar buruh dengan majikan bersifat objektif karena berdasarkan kepentingan objektif yang didasarkan kedudukan mereka masing-masing dalam proses produksi.

2. Karena kepentingan kelas pemilik dengan kelas buruh secara objektif bertentangan, mereka juga akan mengambil sikap dasar yang berbeda terhadap perubahan sosial. Kelas pemilik, dan kelas-kelas atas pada umumnya mesti bersikap konserfatif, sedangkan kelas buruh, dan kelas-kelas bawah pada umumnya, akan besikap progresif dan revolusioner.
3. Dengan demikian menjadi jelas mengapa bagi Marx setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui revolusi. Begitu kepentingan kelas bawah yang sudah lama ditindas mendapat angin, kekuasaan kelas penind...as mesti dilawan dan digulingkan. Apabila kelas bawah bertambah kuat, kepentingannya pun akan mengalahkan kepentingan kelas atas, jadi akan mengubah ketergantungan dari pada pemilik dan itu berarti membongkar kekuasaan kelas atas.

Di dalam teori kelas Karl Marx ketiga dasar-dasar pemikirannya dihubungkan. Marx mengambil istilah kelas dari ahli ekonomi politik, penerapannya pada kapitalis dan proletariat berasal dari pemikiran sosial utopis perancis, konsep perjuangan kelasnya didasarkan atas dialektika Hegel. Teori kelas menetapkan hubungan problematis antara analisa sosiologis dan pemikiran filosofi di dalam karya Marx. Keduanya dapat dipisahkan dan harus dipisahkan, tetapi dalam proses pemisahan ini, teori kelas dipotong menjadi dua bagian, sebab teori kelas itu selain sebagai dasar bagi filsaat sejarah Marx, adalah juga sebagai peralatan analisisnya tentang dinamika masyarakat kapitalis{{[Diambil dari Suseno, Franz Magnis. 2001. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionerisme. Jakarta: PT. Gramedia. Halaman 111-112.]}}.

Contoh Kasus yang berhubungan dengan Teori Kelas

Istilah proletariat di Indonesia seringkali diganti dengan kata ‘buruh’ (seperti dalam kalimat: “kediktatoran proletariat” diganti dengan “kediktatoran buruh”). Di Indonesia, kata ‘buruh’ di pikiran sebagian besar masyarakat di Indonesia seringkali hanya berarti ‘pekerja industri kerah biru[{{Istilah yang sering mendefinisikan kaum buruh yakni sebagai pekerja yang melakukan pekerjaan dengan tangannya atau mencari nafkah dengan tenaga fisik. (Sumber: pustaka.unpad.ac.id).]}}‘; yang dengan demikian terminologi tersebut justru mengalienasikan dan mereduksi makna proletariat itu sendiri (dalam kenyataannya pekerja kerah putih tidak mau mendefinisikan dirinya sebagai buruh). Hal ini sebenarnya digunakan untuk memecah kesadaran dan solidaritas yang dapat muncul apabila seluruh proletariat menyadari persamaan diri mereka semua sebagai sebuah kelas-satu-satunya kelas yang mampu mengubah arah sejarah. Dalam era masuknya ideologi Marxisme di Indonesia, para Marxis menggunakan terminologi ‘buruh’ untuk mendefinisikan proletariat dan “pemerintahan buruh tani” sebagai sebuah kediktatoran proletariat. Pada masa tersebut, proletariat di Indonesia yang terkuat dan menjadi basis massa perjuangan mereka adalah para pekerja paling rendah secara hirarki sosial di era kolonialisasi Belanda dan Jepang, karena hanya mereka yang paling signifikan untuk bangkit disebabkan oleh penindasan dan kemiskinan yang ekstrim. Tapi sejalan dengan perkembangan sistem kapitalisme internasional menjadi sistem kapitalisme lanjut, yang walaupun masih memegang pola dasar operasi kapitalisme lama, ia mengubah berbagai bentuk kerja dari awalnya yang sekedar kerja industri, menjadi bentuk-bentuk kerja dalam bentuk layanan jasa dan kerja abstrak (kerja dengan menekankan pada kemampuan otak dan kreatifitas, bukan lagi fisik) sebagai salah satu garda depan invasi mereka. Pemerintahan Suharto dengan jeli melihat hal ini dan mempopulerkan terminologi ‘pekerja’ atau ‘karyawan’ untuk menghapuskan dan memecah definisi ‘buruh’ yang dipopulerkan oleh gerakan Marxis sebelumnya.

Sementara di sisi lain, Suharto, dengan Menteri yang sangat anti-komunis Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dalam jajaran kabinetnya, mulai mempopulerkan terminologi ‘pekerja’ dan ‘karyawan’ bagi para pekerja layanan jasa dan kerah putih, serta ‘buruh’ bagi pekerja industri kerah biru. Hasilnya, para proletariat baru, yang mendefinisikan diri mereka berbeda dengan proletariat lainnya berdasarkan cara kerja mereka, upah dan kenyamanan material yang mereka peroleh, benar-benar mulai terpisah dari kesadaran akan kelasnya yang sesungguhnya. Memperhatikan bahwa terminologi ‘buruh’ kini hanya mendeskripsikan ‘pekerja industri kerah biru’ dan semakin mengalienasikan dan memecah kesadaran kelas proletariat, maka itu alasannya mengapa perlu ada batasan tegas antara terminologi ‘pekerja’ bukan ‘buruh’ sesuatu yang justru menjadi semakin kabur di tengah propaganda pecah-belah dari kapitalis. Hal ini dilakukan bukan untuk menyatakan bahwa rezim Suharto benar, tetapi karena terminologi ini memberi aspek penekanan pada kata ‘kerja’ itu sendiri semenjak seluruh kelas proletariat terikat dengan keharusan untuk ‘bekerja’ dan mengembalikan konteks dasar konsep Marxian bahwa kerja adalah bagian instrinsik dari perkembangan kehidupan manusia. Dan dengan penggunaan terminologi tersebut, saat di sini disebutkan tentang pekerja, maka yang dimaksudkan adalah seluruh proletariat, yang tentu saja bukan hanya sekedar pekerja industri kerah biru. Penggunaan terminologi PSK (pekerja seks komersial) yang digunakan dan dipopulerkan kebanyakan oleh para feminis untuk menggantikan terminologi WTS (wanita tuna susila) atau ‘pelacur’ adalah sebuah contoh yang baik tentang bagaimana mereka yang menjual seksualitas tubuhnya adalah juga bagian dari kelas pekerja atau proletariat; terminologi tersebut juga mulai mengubah paradigma umum bahwa hanya perempuanlah yang bekerja menjual seksualitas tubuhnya seperti dalam kata WTS yang begitu populer di tahun-tahun 1980-an. Kesadaran bahwa bahasa sangat berpengaruh dalam pembentukan proses kesadaran akan kelas, seharusnya mulai diperhatikan semenjak demagogi bahasa telah mendominasi mayoritas benak para pekerja kerah biru atas nama ‘budaya buruh’ atau ‘kultur proletariat’.

Dengan demikian juga, mengapa istilah proletariat menjadi penting. Karena ia mampu melampaui perdebatan antara mereka yang menganggap diri buruh, karyawan, pegawai, pekerja, dan mendefinisikan mereka semua dalam satu definisi: proletariat. Dan dengannya, maka May Day sudah selayaknya menjadi hari kita semua, hari di mana proletariat mengingatnya sebagai hari perang kelas, hari penentangan proletariat terhadap kerja-upahan, terhadap kapitalisme. Bukan hanya hari milik para Marxis dan pekerja industri kerah biru, melainkan juga pekerja kerah putih, pelajar dan mahasiswa, ibu rumah tangga, penganggur, pekerja jasa, dan siapapun juga yang merayakannya atas nama mereka sendiri, bukan lagi atas nama solidaritas terhadap pekerja industri kerah biru. Tapi atas nama diri kita sendiri, diri kita semua, demi solidaritas universal sesama proletariat, bukan hanya bagi kerah biru.
Kelas yaitu sekelompok orang-orang yang memiliki fungsi dan tujuan yang sama dalam organisasi produksi. Ada tiga kelas masyarakat menurut Marx yaitu:
a. Kelas pemilik tanah
...b. Kelas pemilik modal
c. Kelas pekerja

Silahkan baca selengkapnya di:
http://tokay.blog.uns.ac.id/2010/01/06/teori-kelas/
TEORI BUNUH DIRI (SUICIDE) EMILE DURKHEIM:

Durkheim memusatkan perhatiannya kepada 3 macam kesatuan sosial yang pokok di dalam masyarakat, yaitu:
...
1. Bunuh diri di dalam kesatuan agama: rasa ingin menjadi pahlawan.
2. Bunuh diri di dalam kesatuan keluarga: rasa kolektivitas besar.
3. Bunuh diri dalam kesatuan politik.

Jenis bunuh diri:
1. Bunuh diri egoistis (egoistic suicide)
Yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang yang tidak dapat menolak role expectation (peranan yang diharapkan dari dirinya oleh masyarakat).
2. Bunuh diri altruistik (altruistic suicide)
Yaitu seseorang melakukan bunuh diri karena merasa dirinya menjadi beban masyarakat, dan merasa kepentingan masyarakat lebih tinggi dibandingkan kepentingannya.
3. Bunuh diri anomik (anomic suicide)
Yaitu bunuh diri yang dilakukan akibat tidak adanya aturan yang mengatur pola sikapnya.
4. Bunuh diri fatalistik (fatalistic suicide)
Bunuh diri yang disebabkan oleh keadaan putus asa ataupun pasrah pada keadaan disekitarnya.
Jika integrasi lemah, bunuh diri naik. Namun, jika integrasi kuat, bunuh diri rendah.

TEORI KELAS atau MASYARAKAT EMILE DURKHEIM???:
ATAU TEORI STRUKTURAL KONSENSUS EMILE DURKHEIM???

Teori structural konesus dengan menggunakan metode sosialisasi diamana sekelompok manusia atau seorang masyarakat menemukan jati dirinya sendiri ...dan belajar memahami menjadi dirinya sendiri melalui lingkunganya dan tempat dimana dia dilahirkan. Teori structural konsesnsus pada dasarnya hanya menjadikana manusia untuk menyesuaikan diri dan berbaur dengan lingkungan yang ia tempati pada saat itu dengan melakukan sosialisasi, dan ketika ia terlepas dari tuntutan peraturan lingkungan yang ia tempati maka ia berhak melepaskan keterikatanya pada lingkungan tersebut. Sebagai contoh saya akan mengambil teori structural consensus dalam perspeektif sosiologi mikro yaitu dimana saya sebagai seorang mahasiswa dituntut mentaati segala peraturan civitas akademika dimana tempat saya belajar, namun setelah saya tidak berada dalam lingkungan civitas akademika saya berada dalam lingkungan sosial yang berbeda.

Perspektif structural-konsensus menurut Emile Durkheim. Durkheim memandang consensus-struktural ialah dimana soseorang harus mempertahankan keberadaanya atau status sosialnya sehingga orang tersebut tidak mengalami perubahan dalam lingkungan sosialnya yang telah mapan. Dosen sosiologi saya Dr. Musa, M.Si berkata bahwa sosiologi itu hanya ada dua macam yaitu sosiologi orang kaya dan sosiologi orang miskin, dan pelopor sosiologi orang kaya tersebut adalah Emile Durkheim, sekali lagi saya tekankan bahwa menurut Durkheim sosiologi ialah ketika seseorang harus bisa menciptakan kondisi yang stabil tanpa ada perubahan, sebagai contoh saya akan mengambil hasil pengamatan saya yaitu hampir sebagian masyarakat di lingkungan saya tinggal yang mempunyai tingkat perekonomian yang mapan berusaha untuk mempertahankanya dengan cara menimbun segala harta yang ia punya tanpa mau untuk berbagi dengan lingkungan sekitar ini adalah contoh kasus dalam lingkungan sosial mikro. Namun dalam kasus sosial makro atau dalam ruang lingkup yang lebih besar seperti sistem pemerintahan politik, teori struktural konsensus menurut sosiologi emile Durkheim saya mempunyai sebuah contoh pada masa orde baru yaitu ketika syarat menjadi seorang presiden yaitu adalah orang yang sudah menjadi presiden, dan memberikan mandat bahwa bagi seluruh PNS untuk memilih golongan partai yang telah disepakati oleh presiden saat itu, hal ini membuktikan bahwa pada masa itu teori structural konsesnsus dalam perspektif Emile Durkheim telah digunakan dalam sistem politik untuk mempertahankan suatu kondisi yang stabil tanpa ada perubahan.

Durkheim juga menegaskan ciri yang penting dalam teori konsensusnya yaitu bahwa struktur sosial terdiri dari norma-norma dan nilai, yaitu dimana setiap orang yang memiliki budaya berbeda tentu mempunyai perilaku yang berbeda pula, dan kita harus melakukan sosialisasi agar bisa menyelaraskan kehidupan dalam lingkuagan sosial yang memiliki perbedaan budaya. Sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat eropa ketika seseorang memegang kepala orang lain hal ini menunjukan bahwa orang tersebut menyayangi dan menghormati orang lain, namun bandingkan denga kehidupan di Indonesia, apabila kita memegang kepala orang lain maka kita dianggap tidak sopan, dan sekali lagi sosialisasi berperan penting dalam perbedaan kebudayaan tersebut untuk menyelaraskan kehidupan dalam lingkungan sosial. Pencapaian kehidupan sosial manusia dan keteraturan sosial dalam masyarakat dipahami Durkheim sebagai sebuah solidaritas sosial yaitu dimana manusia belajar dasar-dasar standarisasi menjalani aturan perilaku melalui sosialisasi, walaupun pada kenyataanya aturan-aturan tersebut berada eksternal dalam diri manusia tersebut, meski tidak nyata namun struktur kebudayaan tersebut dirasakan nyata bagi yang menjalankanya dalam satu lingkungan sosial.

Durkheim mengklasifikasikan bentuk-bentuk solidaritas menjadi dua macam, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik adalah aturan-aturan kolektif yang dijalankan sekelompok masyarakat yang memiliki pandangan sama tentang hidup, solidaritas semacam ini dapat kita temui pada kehidupan masyarakat tradisional, sebagai contohnya pada masa pra islam diamana masyarakat Arab sangat memegang erat tali kekerabatan dalam satu khabilah, maka dari itu solidaritas mekanik dapat saya pahami sabagai sebuah ikatan emosional yang melatarbelakangi terjadinya solidaritas dan sosialisasi. Sedangkan solidaritas organik pada dasarnya juga terjadi karena adanya persamaan pandangan hidup namun lebih menekankan sisi rasionalitas dan harus melalui sebuah kesepakatan, solidaritas semacam ini dapat kita temui pada kehidupan masyarakat modern, sebagai contoh seorang bawahan yang taat pada atasanya dan bias berkerjasanma dengan baik bukan karena adanya ikatan emosional namun karena adanya sebuah kesepakatan yang harus diterima untuk saling memajukan perusahaan dimana mereka sama-sama berkerja.
Dalam tulisan ini tokoh yang menjadi kajian utama adalah Emile Durkheim, semua ahli sepakat bahwa dari tangan Durkheim lah lahir sebuah teori yang dapat menjadi teori tandingan terhadap teori- konflik karl mark. Teori ini terkenal dengan teori fungsionalisme, yaitu dimana seluruh komponen dalam struktur sosial berkerja sesuai fungsinya seperti halnya anatomi tubuh manusia. Saya memahami teori fungsionalisme ini sebagai sebuah perlawanan atau antithesis dari teori konflik karl mark dimana ia mengandaikan sebuah masyarakat tanpa kelas, jadi dapat dipahami teori fungsionalisme Durkheim diciptakan untuk mempertahankan suatu keadaan dimana sikaya tetap menjadi kaya dan posisinya tak tergoyahkan, dalam kasus sosiologi makro, teori fungsionalisme terjadi pada kasus langgengnya kekuasaan bisnis bakrie, dimana bakrie yang pada awalnya muncul sebagai sebuah kekuasaan bisnis berusaha untuk melanggengkan dan memperlebar kekuasaan bisnisnya dengan menguasai sistem-sistem sosial lainya, seperti dalam dunia pendidikan bakrie mendirikan sebuah perguruan tinggi, dalam dunia bisnis bakrie mencakup berbagai aspek seperti telekomunikasi, dan dalam dunia politik pemilik bekrie company menjabat sebagai ketua parpol. Hal ini semata dilakukan untuk mempertahankan status quo dan untuk mempertahankan kejayaan bisnisnya agar tercipta keadaan yang stabil.

Silahkan baca selengkapnya di:
http://sayabukanpecundang.blogspot.com/2010/11/makalah-sosiologi-makro-perspektif.html
Kesimpulan:
Meskipun pada dasarnya sosiologi itu bebas nilai (value free) tetapi ternyata sosiologi tidak dapat tidak memihak, hal ini Nampak pada teori sosiologi makro dengan perspektif structural – consensus dan fungsionalisme yang digagas... oleh Emile Durkheim. Jelas sekali bahwa teori structural-konsensus atau fungsionalisme Durkheim memiliki pemihakan terhadap orang-orang yang diuntungkan secara ekonomi dalam masyarakat. Dengan demikian konsep bahwa sosiologi itu bebas nilai nampaknya sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

Silahkan baca selengkapnya di:
http://sayabukanpecundang.blogspot.com/2010/11/makalah-sosiologi-makro-perspektif.html

Teori Solidaritas (The Division of Labour in Society)
- Solidaritas mekanis (tidak terspesialisasi), ada pada masyarakat tradisional.
- Solidaritas organis (mulai terspesialisasi), ada pada masyarakat modern.
Konsekuensi dari mekanis ke organis yaitu individualisme mulai muncul.

Silahkan baca selengkapnya di:
http://claralaura.wordpress.com/2010/12/27/teori-sosiologi-klasik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar