Selasa, 01 Maret 2011

REVIEW BOOK

DICKY ANDRIKA
08.10.832.049
ILMU POLITIK

Judul: State of Art Ilmu Politik dan Pemerintahan
Subtitle: The State of Art Ilmu Politik
Penulis: Ramlan Subakti
Editor: M. Mas’ud Said
Halaman: 143-154
Abstraksi yang dipaparkan oleh Ramlan pada tulisan ini, dengan jelas memaparkan bahwa Ilmu Politik Kontemporer yang mendasari subbidang kajian perbandingan politik. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan social politik yang terjadi hampir dibelahan dunia baik itu negar maju ataupun Negara ketiga. Semua literatur, sumber dan para ahli didominasi oleh Amerika serikat, dan kemudian dapat menjadi kiblat demokrasi dan kehidupan bertata Negara.
Perubahan yang saling siknifikan adalah dalam ilmu politik modern yang tidak lagi berpaku pada hal-hal yang diangap baik atau tidak lagi berpegang teguh kepada dalil-dalil yunani atau masa kelam sebelum reinesannse. Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa cara-cara lama tersebut terlalu dikungkung dengan nilai dan sering kali tidak ada sinkronisasi dengan fakta yang ada sehingga terjadinya pesimistis dalam kajian ilmu politik.
Namun, munculah teori politik kontemporer yang dimana dapat membuat ilmu politik berkembang secara fleksibel dan dipengaruhi oleh kajian-kajian dialetis dari teori klasik dan modern. Dengan demikian teori kontemporer dalam ilmu politik ini dapat memisahkan fakta dengan nilai, akademis dengan yang praktis, moralitas dengan ilmu, cara dan tujuan, kebijaksanaan dengan etika, pengamat dengan aktor politik, serta hak dan kewajiban dalam bernegara.
Filsafat Politik VS Ilmu Politik
Karakteristik pertama dari teori kontemporer adalah kajian yang berangkat dari asumsi mengenai determinasi dan hukum kausasi universal atau biasa disebut dengan hubungan sebab dan akibat. Kedua membedakan fakta empiric dan nilai. Ketiga tujuan ilmu politik ialah membangun teori dengan menggeneralisasikan hubungan kausal diantara pengetahuan, sehingga teori mejadi pisau bedah fenomena dan sebagai landasan forecasting social-politik kedepannya. Keempat, membuat perbedan logik antara ilmuwan dan mempelajari sikap dan pendapat yang didasari oleh nilai-nilai tertentu. Kelima, memberikan pertimbangan yang instrumental.
Berbeda dengan kharakteristik politik klasik. Pertama, kjiannya bersifat normative dan prespektif. Kedua, ilmu politik klasik memandang fakta dan nilai adalah suatu yang entitasnya erat. Ketiga, politik klasik menegaskan bahwa pentingnya membedakan hal-hal politik dan non-politik, kemudian pemecahan masalah secara dialetis. Keempat, pengetahuan akal sehat akan menuju pengetahuan yng ilmiah. Kelima adalah ilmu politik klasik memandang Negara sebagai alat untuk menciptakan kondisi kebahagiaan, dan melindungi hak-hak alamiah manusia.
Kemudian yang dimadsud dengan point kelima diatas, menurut ilmu politik klasik ada tiga kondisi kebahagiaan yang harus dipenuhi: kehidupan (untuk berbahagia seseorng harus hidup), kebebasan (seseorang harus dapat bergerak secara leluasa) dan upaya mencapai kebahagian (seseorng harus berupaya mencapai kebahagian). Sedangkan bagi ilmu politik positivistic mengajukan rekomendasi berdasarkan means-ends analysis. Sementara itu ilmu politik modern mengkritik klasik sebagai terlalu memperhatikan dalil-dalil klasik sebagai suatu keharusan. Sebaliknya ilmu politik klasik menganggap ilmu politik modern tidak mengubah pertanyaan fundamental ilmu politik walaupun mereka telah menambah bukti dan argument untuk menjawab pertanyaan.
Menurut Strauss, dalam awal pertumbuhannya, ilmu politik modern terperangkap dalam bahaya menempatkan system politik barat sebagai karakter esensial. Kemuadian ilmu politik melakukan kajian yang bersifat lintas budaya untuk memahami budaya lain. Oleh karena itu ilmu politik modern berupaya memahami budaya lain sebagaimana masyarakat penganut budaya itu memahaminya (etnometodologi). Strauss menambahkan bahwa ilmu politik haruslah bersifat historic dalam aplikasinya sehingga bukti empiric dapat dilihat secara eksplisit. Cara historic ini jelas dapat menolak masyarakat impian secara permanen seperti menurut ilmu politik klasik. Karena budaya yang berbeda akan melahirkan rezim yang berbeda pula.
Menurut Ramlan Subakti, filsafat ilmu politik sendiri sebenarnya masih dapat dibagi dua yaitu klasik dan kontenporer. Machiavelli adalah tokoh filsafat politik temporer yang dimana telah memberikan alat ukur perihal best regime klasik yang abstrak dan utopis. Singkat kata yang dpat membedakan politik klasik dn kontemporer itu adalah tolak ukur rezim, artinya Machiavelli dapat menjadi jembatan antara filsafat politik dengan politik kontemporer.

Demokrasi menurut klasik dan positivistik
Hegemoni demokrasi semakin luas hamper dibelahan dunia. Hal ini bila kita melihat sejarah, pastinya kita dapat beramsumsi bahwa ini ditandai dengan berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Negara Uni Soviet. Sehingga, demokrasi menjadi hal yang diangap baik dan menang dan selanjutnya diikuti oleh Negara-negara berkembang bahkan rakyat timur tengah. Baik itu diraih dengan konstitusional ataupun konvensional.
Menurut Samuel Huntington, ada tiga jenis pemahaman mengenai demokrasi sebagai bentuk pemerintahan: Pertama, sumber kewenangan bagi pemerintah. Kedua, tujuan-tujuan yang hendak dicapai pemerintah. Ketiga, prosedur-prosedur pembentukan pemerintah. Jenis pemahaman yang pertama dan kedua oleh ilmu politik kontemporer dianggap terlalu idel dan abstrak, sehingga tidak dapat diukur seacra akurat. Oleh sebab itu Huntington dalam bukunya tersebut menggunakan jenis yang ketiga, yang dimana lebih mengutamakan profit oriented.
Robert Dahl, yang melihat lemahnya partisipasi warga amerika serikat dalam demokrasi. Hal tersebut menimbulkan kepincangan dalam situasi politik nasional yang pada awalnya adalah berakar dari kepincangan ekonomi. Kemudian jalan keluar agar tumbuhnya partisipasi politik adalah penguatan dan kesinambungan antara politik dan ekonomi. Langkah yang dilakukan menurut Dahl adalah, demokratisasi di dalam perusahaan-perusahaan, seperti pemilikan saham dan keikutsertaan dalam pembuatan kebijakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar