Senin, 07 Februari 2011

Otonomi daerah dan kesalahpahaman yang berkembang

Otonomi daerah diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan kebijakan nasional yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional. Otonomi daerah juga merupakan sarana kebijakan politik dalam rangka memelihara keutuhan NKRI. Karena itu, dengan otonomi akan kembali memperkuat ikatan semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan diantara segenap warga bangsa.

Otonomi daerah adalah sebuah proses dalam mengembalikan harkat dan martabat masyarakat daerah dan memberikan peluang pendidikan politikdalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah. Dalam ilmu administrasi Negara, otonomi daerah juga dapat menjadi suatu alat peningkatan efisiensi pelayanan publik didaerah dan peningkatan percepatan pembangunan daerah. Sehingga kita dapat meyakini bahwa nantinya seluruh proses ini akan mencipatakan pula cara berpemerintahan yang baik atau good governance.

Namun, implementasi kebijakan bukanlah suatu yang kederhana untuk dieksekusi. Karena implementasi kebijakan menyangkut interpretasi, organisasi dan dukungan sumber daya yang ada. Karena itulah muncul kesalahpahaman dari kebijakan otonomi daerah. Kesalahpahaman ini muncul dari berbagai kalangan, apakah itu akademisi, politisi ataupun masyarakat karena terbatasnya pemahaman umum perihal otonomi daerah ataupun argumentasi-argumentasi yang diajukan lebih merupakan argumentasi politik ketimbang argumentasi keilmuan.

Berikut beberapa kesalahanpahaman yang berkembang dimasyarakat. Pertama, otonomi dikaitkan semata-mata karena uang. Pemahaman yang ada dalam masyarakat adalah otonomi harus mencukupi segala kebutuhannya sendiri, terutama dalam bidang keuangan. Sehingga daerah terkesan belum siap dan belum mampu. UU NO.32 tahun 2004 belum diikuti dengan pelimpahan kewenangan dalam mencari uang dan subsidi dari pemerintah pusat. Efek negatif adalah maraknya manipulasi pajak atau pungutan. Alhasil, pemerintah daerah “harus mampu” menggunakan uang dengan bijaksana, tepat guna dan beorientasi kepada kepentingan masyarakat.

Kedua, dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan membina daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Pusat tetap memberikan bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintahan kepada personil yang ada didaerah, ataupun dukungan keuangan. Hal yang terpenting adalah kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup berupa Dana Alokasi Umum, Khusus atau bantuan keuangan lainnya yang sangat berguna bila terjadi bencana alam yang sangat mengganggu roda perekonomian daerah.

Ketiga, dengan otonomi dapat melakukan apa saja. Hakikat dari otonomi daerah adalah agar daerah mampu menjalankan pemerintahan yang kreatif dan inovatif dalam rangka memperkuat NKRI, dengan berlandaskan norma kepatutan dan kewajaran dalam rangka tata kehidupan bernegara. Disamping itu kepentingan masyarakat haruslah menjadi patokan utama dalam formulasi kebijakan dan bukan sebaliknya, pemerintah daerah mengabaikan berbagai aturan dan norma yang berlaku dalam setiap kebijakannya atau bahkan tidak mengindahkan aspirasi masyarakat.

Keempat, otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil didaerah dan memindahkan korupsi di daerah. Pendapat seperti ini dapat dibenarkan bila penyelenggara daerah, masyarakat dan dunia usaha menempatkan diri dalam kerangka system politik gaya lama yakni korupsi, kolusi dan nepotisme serta penyalahgunaan lainnya. Oleh karena itu, untuk menghindari pandang tersebut, pilar-pilar kekuatan politik dan pengutan demokrasi pada tingkat daerah haruslah memainkan perannya secara optimal. Pilar-pilar kekuatan madani itu seperti partai politik, media massa, mahasiswa, KPK, komisi ombudsman termasuk LSM control (corruption watch, parliament watch, court watch, police watch), dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar